Mohon tunggu...
aslan s
aslan s Mohon Tunggu... karyawan swasta -

seorang karyawan swasta bidang IT

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Raden Mas Panji Sosrokartono, Tokoh Sastra & Pendidikan yang terlupakan

7 November 2012   04:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:50 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu kita sering mendengar pepatah berbahasa Jawa berikut ini : Sugih tanpa banda (kaya tanpa harta benda) Digdaya tanpa aji (sakti tanpa ajimat) Nglurug tanpa bala (menyerbu tanpa pasukan) Menang tanpa ngasorake ( Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan) Trimah mawi pasrah (rela menyerah terhadap keadaan yang telah terjadi) Suwung pamrih tebih ajrih (jika tak berniat jahat, tidak perlu takut) Langgeng tan ana susah tan ana bungah (tetap tenang, tidak kenal duka maupun suka) Anteng manteng sugeng jeneng (diam sungguh-sungguh, maka akan selamat sentosa) tetapi tahukah kita siapa yang mempopulerkan? Pepatah ini dipopulerkan oleh beliau Raden Mas Panji Sosrokartono. Beliau merupakan kakak dari Raden Ajeng Kartini , anak Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Samingoen Sosroningrat. Bisa dikatakan beliau adalah merupakan orang Indonesia pertama yang kuliah di Eropa tepatnya di negeri Belanda.  Setamat dari Eropesche Lagere School (E.L.S) di Jepara, beliau langsung melanjutkannya ke Hogere Burgerschool (H.B.S)  di Semarang. Sejak 1897 beliau mulai mengembara ke Eropa. Mula-mula beliau belajar di Sekolah Tinggi Teknik Delft. Tetapi karena kurang cocok beliau akhirnya pindah ke jurusan Bahasa dan Kesusatraan Timur di Perguruan Tinggi Leiden. Beliau meraih gelar sarjana Docterandus in  de Oostersche Talen dari perguruan tinggi Leiden dengan summa Cum Laude. Setelah lulus beliau melanglangbuana ke seluruh Eropa. Beliau dikenal sebagai seorang poliglot yaitu ahli yang menguasai banyak bahasa. Beliau menguasai 24 bahasa Asing dan 10 bahasa suku di Nusantara. Karena keahliannya tersebut beliau pernah menjadi wartawan perang Indonesia pertama yang meliput peristiwa perang Dunia 1 untuk koran New York Herald Tribune. Beliau juga pernah bekerja sebagai penterjemah di Wina, Austria. Bahkan beliau juga pernah diangkat sebagai kepala penterjemah di Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) , cikal bakal Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Organization). Beliau juga kerap dipanggil dengan sebutan De Javanese Prins (Pangeran dari Tanah Jawa). Selain terkenal sebagai ahli bahasa juga mempunyai kemampuan dalam menyembuhkan penyakit.  Beliau menyembuhkan penyakit dengan hanya meminum air putih saja dan secarik kertas bertulisan huruf Alif (singkatan dari Allah) kepada pasien. Setelah berkelana selama 29 tahun akhirnya beliau kembali ke Tanah air dan menetap di Bandung. Beliau mendirikan sekolah dan perpustakaan. Beliau menjadi Kepala Sekolah di Perguruan Taman Siswa di Bandung. Ia juga membuka rumah pengobatan Darussalam di Bandung. Disanalah beliau mengabdi untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.  Akhirnya beliau wafat di Bandung tapi dimakamkan di makam Keluarga di Kudus.  Karya dan Sepak terjang beliau akan selalu dikenang masyarakat terutama di bidang Pendidikan dan Kesusatraan di Indonesia.

13522607661790383746
13522607661790383746

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun