“Bagaimana perasaan Anda bisa datang lagi ke Indonesia?
Pulang kampung nih! (I’ve come back to my hometown!) Saya melewatkan sebagian masa kecil saya yang indah di Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia menjadi bagian dari diri saya....Saya sungguh senang bisa kembali di negeri yang indah ini dan menunjukkan kepada Michelle kota tempat dulu saya pernah tinggal” (petikan wawancara tertulis Kompas dengan Obama, Selasa (9/11/2010), semasa Presiden Amerika Serikat ini masih melakukan kunjungan tiga harinya di India) baca DISINI
Menatap Obama lewat layar kaca, tampak sosok ramah dan hangat, senyum tertebar, pada orang yang dijumpa. Kental terkesan dia pribadi terbuka dan siap merangkul semua. Mungkin sudah sedemikianlah kepribadian seorang Obama, seperti gambaran dalam ingatan kawan masa kecilnya di Menteng Dalam, dia menyenangkan.
Di kampus Universitas Indonesia, Obama menyatakan dalam bahasa Indonesia yang fasih "Indonesia bagian dari diri saya", Obama pun banyak berkisah tentang masa kecilnya di Indonesia, mulai dari makanan kesukaan, panggilan "sate, bakso" dilafalkan dengan dialek Indonesia dan pengalaman yang lain.
Sekiranya Lolo Soetoro masih hidup, pasti akan terkejut melihat anak tirinya itu menjadi orang nomor satu di USA. Itulah manusia, garis takdir tetaplah jadi misteri dalam pelukan rahasia hidup, tiada satupun sanggup menentukan dengan akurat akan menjadi apa esok atau lusa.
Memang ada pertanyaan dibalik penyambutan Obama, semisal apakah sikap kita mempersiapkan diri dalam menyambut Obama adalah konsekuensi dari aturan protokoler kenegaraan atau sesungguhnya Indonesia secara berlebih ingin ‘mengambil hati’ AS. Indonesia demikian mengelu-elukan presiden AS ini, seakan Obama telah berbuat sesuatu yang berarti bagi kita. Sikap ingin semakin mesra dengan AS kian bertumbuh setelah sebelumnya dalam berbagai kesempatan, Indonesia berkali-kali menegaskan dirinya untuk melawan terorisme, berdiri sehaluan dengan AS untuk memberantas terorisme.
Orang dapat berdebat kencang, posisi negeri ini dimana? Berteguh pada nilai atau berpikir pragmatis; sepanjang kepentingan nasional kita aman, ya tak perlu banyak pusing dengan tuntutan yang keras-keras. Sampai saat tulisan ini dibuat, belum lagi ada satu pernyataan sikap atau keterangan dari pemerintah Indonesia untuk diteruskan pada Obama, terkait konflik Palestina Israel misalnya, padahal itu poin penting, jika benar Indonesia ingin turut andil menyulam perdamaian abadi, jauh dari penindasan atas sesama.
Kita wajar ragu, kegiatan Obama mengunjungi mesjid Istiqlal, hanya menjadi alat pencitraan untuk merebut simpati publik Indonesia dan dunia muslim, bahwa AS kali ini berbeda dari AS yang sebelumnya. Pun ketika dia berpidato memuji-muji negeri kita, membuat kita senang dan terlena, pujian pun mengalir, media berlomba memoles dan memberi tafsir lebih atas kunjungan kali ini. Sebagai bangsa, kita hendaknya tak lekas berbangga diri saat pujian itu mengalir, apalagi dari politisi negara lain yang tentu hanya akan lebih mendahulukan kepentingan nasionalnya di atas apapun.
Menyambut Obama dengan seremoni berlebih, hanya akan membuat semuanya menjadi sebatas seremoni belaka, jalanan ditutup, tentara memenuhi jalan dan lorong, kita tak menolak itu, namun menyambut tamu secara berlebih di saat negara masih berduka sepertinya juga tak elok. Khawatir jangan sampai seremoni penyambutan berhenti sekadar sebuah pesta, keriuhan dan gelegarnya seketika lenyap saat kunjungan ini berakhir.
Bila benar bahwa Obama ingin mendekatkan diri dengan nilai kemanusiaan dan dunia Islam, maka problem mendasar yang menjadi duri dalam daging adalah bagaimana sikap dan aksi nyata Obama atas masalah kemerdekaan Palestina. Dalam rangkaian pernyataan, Obama pandai bermain kata, mendamba suasana pergaulan antar bangsa yang setara, saling bekerja sama dalam keamanan dan perdamaian. Mari berkaca pada kasus terakhir yang masih hangat, insiden penyerbuan serdadu Israel terhadap kapal Mavi Marmara. Publik dunia mencatat, AS terlihat tak bisa bersikap tegas padahal hasil tim investigasi memperlihatkan bahwa Israel nyata bersalah dalam penyerbuan itu. Lalu apa tindakan AS? Sungguh mengecewakan. Ini kian menegaskan bahwa Israel adalah negara yang akan terus mereka bela dan benarkan dalam keadaan apapun.
Bila Indonesia ingin bersetia pada amanat konstitusi bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, mestinya SBY mendesak Obama, berlaku adil dalam penyelesaian konflik Palestina Israel dalam membangun tata dunia yang berkeadilan.
Atau mungkin saja sebenarnya Obama ingin berbuat banyak bagi perdamaian di Timteng, hanya sekali lagi dia terbentur pada kokohnya sistem tertentu di AS yang berada di balik layar, melindungi kepentingan Israel, artinya Obama sebagai presiden negara adidaya ternyata tak berkutik manakala berhadapan dengan kepentingan Israel. Jika benar demikian berarti Obama kehilangan daya, sebatas menebar janji. Ataukah Obama tak ingin berhadap-hadapan secara diametral dengan kekuatan Yahudi yang menguasai segala sendi terpenting di AS dan dunia. Entah.
Ah, sudahlah. Anggap saja Obama sedang berekreasi ke Indonesia, bernostalgia pada negeri tropis terluas, tempat sejuk yang menempati ruang tersendiri dalam ingatan masa kecil.
Merawat harapan untuk hidup yang lebih baik, mungkin kita hanya dapat sampai disitu saja, saat menatap Obama dari layar kaca, betapa tak mudah memang bagi seorang Obama, dalam kesendirian, untuk mengukir wajah baru pola pergaulan antar manusia yang lebih manusiawi. Semoga pikiran-pikiran Obama tak melapuk berhenti sebagai angin retorika, semoga saja energi kebaikan itu menggelombang, menjelma harapan bagi umat manusia...
Selamat Datang Barry...,
Mungkimkah engkau sanggup berbuat bagi perdamaian abadi di dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H