Boleh saja teman Mahasiswa Kedokteran berbangga dengan sejarah tanah air, bahwa pendahulu mereka (Soetomo dkk) pernah menoreh emas sebagai tinta di kanvas sejarah bangsa. Pun sukar dipungkiri, para mahasiswa kedokteran itu beruntung menempati satu tempat tersendiri sebagai orang yang beruntung di dunia pendidikan tanah air, walau ini masih bisa diperdebatkan, namun fakta berbicara betapa hampir di setiap PTN dan PTS, jatah Pendidikan Dokter masih diburu oleh peserta didik di Indonesia. Para orang tua begitu bangga bila anaknya dapat kuliah dan kemudian menjadi dokter.
Hanya saja apakah kebanggaan itu berbanding lurus dengan sumbangsih balik yang diberikan oleh mahasiswa itu bagi bangsanya? Semisal keterlibatan mereka dalam advokasi dan aksi terhadap masyarakat, bagi bangsa atau paling minimal apa yang telah didedikasikan bagi rakyat yang berdiam di sekitar kampusnya masing-masing ?
Mengapa itu penting dipaparkan, sebab dalam analisis mendalam, telah terjadi pergeseran dalam peta keberadaan mahasiswa kedokteran di tanah air (kalau tak ingin dikatakan pengeroposan) bahwa betul sebagai mahasiswa mereka tetap punya ‘energi’ kerakyatan yang tak perlu diragukan. Tetapi fakta di lapangan apa benar demikian? Apakah beratnya muatan kurikulum yang disusupkan dalam proses belajar mengajar dengan segenap tugas dan kewajiban ilmiah lain membuat mereka terdegradasi, teralienasi dari lingkup tugas sejarah sebagai kaum muda? Seorang kawan pernah mengeluh betapa beratnya rutinitas yang dia hadapi sekarang sebagai mahasiswa kedokteran. Berpindah dari satu responsi ke diskusi ke presentasi, praktikum dan sebagainya, serupa memasuki ‘dunia tanpa koma’, tak ada jeda untuk sekedar bersantai misalnya. Serupa makhluk yang kehilangan sensitifitas ? Wah, apa memang seseram itu ya?
Pun masih menurut kawan tadi, ketika mereka menyandang gelar sarjana dan harus menjalani proses praktek di rumah sakit untuk mendapat titel dokter, dinamika kesibukan kian menggila, berarak dari jaga siang, malam, susun referat, ujian dan macam-macam pekerjaan yang harus dituntaskan. Melebihi disiplin militer yang sedang siaga satu. Hehe..
Wah sungguh berat dan melelahkan. Dari titik persinggahan, kita melempar tanya, apa variabel penyebab pergerakan mahasiswa kedokteran di Indonesia mengalami stagnasi yang paling perih sepanjang sejarah pertumbuhan gerakan pasca Budi Utomo. Kurikulum padat? Mengunci mati terbukanya ruang-ruang berekspresi. Juga karena input bahan baku? Dimana mahasiswa yang masuk sekarang sudah tak seperti di tahun 60, 70, 80 atau 90-an dimana privatisasi kampus belum begitu menggejala. Ah, kalau kita setuju dengan argumen terakhir, bukankan kita terjebak kembali pada pembedaan masyarakat berbasis kelas dan kemampuan ekonomi. Sesuatu yang dengan berat hati harus kita enyahkan dalam prasangka baik sebagai bangsa.
Ini krusial dikemukakan, mengapa? Sebab mereka yang memilih masuk sebagai mahasiswa kedokteran berarti telah sepakat untuk menggadai usia dan masa mudanya, belajar dan belajar agar secepatnya menjadi dokter. Lalu setelah diwisuda, mereka akan memegang otoritas penuh dalam mengobati orang sakit. Kita pun mafhum bahwa posisi orang sakit itu kan lebih bersifat subordinat (….walau idealnya sih setara), artinya pada posisi tersebut, siapapun individu, sepanjang dia berada pada posisi sebagai pasien, maka akan mengalami sejumlah “ketidakberdayaan” yang kemudian akan berpulang pada dokternya, apa dan bagaimana terapi dan kelanjutan setelah terapi. Inilah Indonesia, dimana hak-hak pasien masih terus butuh untuk diperjuangkan oleh seluruh elemen bangsa. Perlu pemberdayaan pasien sehingga dapat mengeri hak dan kewajibannya.
Pada perhentian ini pula, patut diingat oleh siapapun bahwa keluhan konsumen akan pelayanan kesehatan, tak bijak bila seluruh dilimpahkan sebagai kebijakan kesehatan pemerintah yang keliru saja, sebab pelaku utama disitu selain perawat dan tenaga medis lainnya; dokter tetap mengisi ruang dominan dalam pelayanan sebagai praktisi yang bergelut dengan pasien. Dalam sejumlah kasus, tenaga kesehatan di tanah air (termasuk para dokter), masih menjadi bagian yang ‘dimanfaatkan’ bergantung kepada angin politik bertiup kemana. Isu kesehatan yang menjadi jualan dalam beberapa pilkada mestinya menyentak kesadaran kita sebagai bangsa, bahwa elemen utama yang paling mendasar dari rakyat yaitu kesehatan, terbukti secara sah dan meyakinkan digunakan sebagai penglaris dalam ‘dagangan politik’.
Selain beberapa item di atas, di lapangan terlihat nyata kesenjangan menganga antara spesialis dan dokter umum. Sebagai dokter umum misalnya, dimana penghasilan resmi mereka yang berasal dari negara belum memenuhi rasa keadilan sebagai dokter? Padahal beban kerja mereka sebagai dokter umum, terlalu berat apalagi yang bertugas di perifer, belum lagi adanya kewajiban untuk senantiasa meremajakan pengetahuan yang dimiliki dengan mengikuti trend dan perkembangan pengetahuan kedokteran terkini, mengharuskan para dokter untuk membelanjakan dana ekstra yang tidak sedikit.
Mengingat kesenjangan tadi, sembari bercanda, seorang kawan yang baru saja terangkat sebagai PNS berkata, “wah cape-cape kuliah di kedokteran dulu, kok gaji saya sama atau tidak beda jauh dengan sarjana lain, padahal dahulu waktu zaman kuliahan, beratnya minta ampun”. Semoga teman kita ini benar adanya.
Salam. Kompasiana memang Rumah Sehat bagi kita semua.
——
foto berasal: http://www.jasdokter.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H