Mohon tunggu...
Aslan Z
Aslan Z Mohon Tunggu... -

kata itu energi semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bangsa Kuli, Mestinya...?

20 November 2010   04:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:27 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12902275351606507687

Pak Karno dahulu, sering mengutip ungkapan “bangsa kuli atau kuli di antara bangsa-bangsa”, agaknya kini terbukti pada negeri kita, layak diusulkan masuk nominasi tujuh keajaiban dunia, untuk kategori bangsa di asia tenggara, pemasok kuli terbesar di dunia??  Sedih hati ini. Malah kita punya pembeda,  punya "keunggulan komparatif", dari rasio jumlah wanita, kita mengambil jatah signifikan, sebagai pembantu di tanah orang. Itu karena apa? Ya karena negeri ini tak juga bisa menyediakan pekerjaan bagi penghuninya, lalu siapa yang salah?

Ya semua salah... Tak bijak bila pemerintah terus dipersalahkan. Lha pemerintah itu berapa sih banyaknya (kalkulasi saja sendiri?), dibanding total jumlah penduduk negeri...?

Memang dalam kejadian di tahun 98 itu, ada yang berpandangan reformasi adalah jalan keliru yang terlanjur ditempuh, mestinya saat itu revolusi. Revolusi di segala bidang, tapi apa bisa ?

Dan juga, mestinya kini ada pembatasan secara massif atas kepemilikan pribadi. Mestinya pajak harus berfungsi sebagai jalan untuk mencegah akumulasi kekayaan, secara tidak masuk akal di tangan segelintir orang. Mestinya hak milik atas barang mewah, tak boleh diizinkan leluasa dimiliki oleh sejumlah orang, yang lalu dengan kasar memamerkan di jalan-jalan. Tengok saja di banyak jalan kota besar kita, segala jenis merek mobil mewah bertebaran, itu barangkali sebanding dengan jumlah orang miskin dan para penganggur, berhamburan memenuhi sudut negeri. Atau  saksikan pusat-pusat perbelanjaan, vulgar menjajakan kesenjangan yang mengiris hati, tempat uang dihambur sebagai pemuas keinginan.

Masih segar di ingatan, pada berbagai kerusuhan sosial yang silam, salah satu  sasaran aksi adalah toko-toko dan pusat perbelanjaan, artinya jauh sebelum peristiwa itu terjadi, sebenarnya ada semacam proses penyusunan amarah dan kebencian terhadap pameran kekayaan, dia hanya menunggu waktu saja untuk “erupsi”, memuntahkan lava kebencian dan iri hati sosial. Artinya, kini perlu pendekatan baru dalam membaca, bahwa kaum miskin, pengangguran dan kelompok lain yang terkalahkan itu, bila dibiarkan akan menjadi ancaman.

Ada ritme dalam denyut sejarah bahwaya ketika telah sampai pada titik jenuh frustasi, kelompok-kelompok itu akan mengumpul pada simpul kepentingan yang sama, menerjang tatanan yang memiskinkan dan menyerang kelompok lain, yang dipandang berbeda dari mereka. Itu tinggal menanti saat saja, mungkin ia dapat berwujud sebagai kerusuhan, kriminalitas yang menanjak atau bentuk-bentuk pembangkangan lain.

Saya terkejut ketika membaca tanggapan warga di sebuah harian lokal di Makassar, kala itu tengah bergulir kehendak untuk melarang beroperasinya kendaraan “Bentor (Becak bermotor/ sepeda motor yang didesain sedemikian rupa sehingga berfungsi seperti becak)”, sejumlah alasan yang menolak bentor, misalnya keberadaan bentor bertentangan dengan ketentuan pemerintah, desain bentor tak berorientasi pada keselamatan penumpang, melanggar aturan modifikasi kendaraan dan sebagainya. Sempat terjadi pro kontra, bahkan para pemilik Bentor menggelar aksi unjuk rasa yang memacetkan di kantor walikota Makassar. Di harian lokal tadi, seorang warga menanggapi dengan ringan tapi mengejutkan bagiku, ia berkata kurang lebih demikian ”biarkan mi saja itu Bentor, karena siapa mau kasi mereka pekerjaan kalau Bentor dilarang, atau siapa mau tanggung bila terjadi apa-apa, karena tidak dapat kerja, mereka sampai kehabisan akal dan memilih jalan lain yang melawan hukum, misalnya jadi pencuri atau pelaku kriminal” Wuiiih..ngeri memang, sekadar berandai saja, pengendara bentor itu jumlanya  ratusan. Saya tak kuat dan takut membayangkan, jika karena tak punya kerja misalnya (seperti bayangan warga tadi), sebagian dari  mereka lalu beralih menjadi perampok atau pembunuh bayaran gara-gara bentor dilarang. Bayangkanlah...!

Tak guna terus memaki pemerintah....

Kelompok-kelompok kaya dan makmur di negeri ini mestinya dipaksa untuk berperan aktif, memberdayakan kaum yang termiskinkan.  Pemuka agama pun sudah waktunya berbenah, berijtihad perlunya zakat harta yang ‘diperluas’, bukan hanya dalam jumlah sekian persen yang sedikit itu, namun di perlebar hingga kadar tertentu yang berefek sosial, menimbulkan perbaikan ekonomi bagi umat terutama yang miskin dan menderita.

Terakhir, sebagai penutup, ada kisah berikut, dalam sebuah perjalanan laut dari Makassar menuju Baubau dengan kapal Pelni, di atas kapal saya bertemu seorang TKI dari Wakatobi Sulawesi Tenggara, yang masuk ke Singapura dengan cara ilegal, pendatang haram, masuk diam-diam dengan menggunakan speedboat yang disewa dari pulau terdekat dari singapura, sayang nasibnya tak mujur, ia ditangkap polisi di sana, di ajukan ke pengadilan, palu hakim memutus hukuman sekian bulan penjara plus hukuman cambuk rotan tiga kali, di area paha belakang bagian atas sampai (maaf) pantat. Ia tak mampu melukis betapa pedihnya cambuk rotan itu, yang pasti ia tak sadarkan diri setiap kali selesai dicambuk, tapi untungnya hukuman tiga kali cambuk itu tak sekaligus diterima, ia bisa memilih interval waktu beberapa hari/ minggu bagi pelaksanaan eksekusi berikutnya, setelah dicambuk, ia segera mendapatkan perawatan medis dari pihak penjara, memperoleh hidangan bergizi dan susu.

Saya pun bertanya, “Apakah bapak kapok? Tak akan ke Singapura lagi...?”, ia menjawab “Tidak, saya balik dulu ke kampung cari baca-baca (mantra) supaya tidak gampang tertangkap, ya kalaupun tertangkap lagi, itu sudah takdir”, wah, wah.. memang di kalangan perantau dari Wakatobi, membekali diri dengan ‘ilmu tertentu’ itu perlu dan sangat dianjurkan, saya lalu bertanya lagi “tapi kan pedih rasanya dicambuk, bapak tidak takut?”, ia terdiam, sedikit menunduk menarik napas panjang “lebih pedih lagi bila melihat anak-anakku tak punya uang untuk bersekolah, lebih pedih lagi bila mereka nanti hanya jadi perantau di singapura seperti saya ini kasian...”

foto dari driverphoto.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun