Mohon tunggu...
Aslan Z
Aslan Z Mohon Tunggu... -

kata itu energi semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita Tentang Mr. P

15 Agustus 2011   07:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:46 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tawuran, penyelesaian masalah dari mereka yang “bersumbu pendek”? Gampang terprovokasi, tersulut oleh apa saja. Dasarnya apa? Adu otot tentu bukan cara bijak, peninggalan manusia primitif, sedikit lebih bermartabatlah mereka yang menempuh adu otot dengan cara; satu lawan satu. Selain tak menimbulkan kerusakan berarti, seperti kaca-kaca pecah, bangunan atau kendaraan dibakar dan seterusnya. Juga satu lawan satu, korbannya tak sebesar tawuran.

Kita maklum, kelahi satu lawan satu bukan solusi utama, masih terbentang beraneka jalan yang mengedepankan dialog dan saling menghargai. Tetapi seringkali dalam konteks lebih luas, seperti lingkup pergaulan internasional, sebagai negara bangsa berdaulat, kita (Indonesia) mesti mempersiapkan diri untuk sanggup berkelahi satu lawan satu atau satu lawan banyak, misalnya Indonesia lawan negara tertentu, atau Indonesia melawan sekumpulan negara asing yang berhimpun sebagai satu kekuatan ‘pengganggu’. Jika elemen pertahanan mampu membendung, mematahkan kekuatan pemukul dari luar, niscaya kita disegani. Negara manapun akan berpikir panjang untuk ‘ribut’ dengan kita.

Kisah kali ini adalah kisah nyata, dahulu di Makassar, tawuran antar pemuda atau antar mahasiswa sekampus atau berbeda kampus biasa terjadi, akhir-akhir ini sudah tidak terdengar. Ini langkah maju, semoga saja ke depan, tak terjadi lagi.

Di salah satu kampus, mahasiswa pendiam dan sederhana yang ogah ikut terlibat tawuran, sebut saja namanya Mr. P, tiba-tiba menjadi disegani oleh teman sekampus baik senior, preman kampus sampai mahasiswa dari fakultas lain. Penyebabnya apa?

Dia jenuh melihat sebagian kecil mahasiswa yang berpikiran pendek, masalah sepele dibesar-besarkan, yang tak ikut tawuran cenderung dianggap tak bernyali. Sampai kesempatan itu datang, sehari menjelang tawuran, kabar macam-macam telah tersebar memanggang situasi, ada pra kondisi, misalnya isu bahwa mahasiswa fakultas X dianiaya mahasiswa fakultas sebelah, ada perobekan/ pembakaran baliho kegiatan mahasiswa yang dipajang di halaman kampus.

Kalau sudah begini, biasanya tinggal menunggu pemantik saja, ibarat kayu kering disiram bensin, asal ada api sedikit langsung membara. Kala itu sebagian kecil mahasiswa yang terkenal rutin ikut tawuran telah mengatur ‘strategi perang’, taktik memukul dari sisi kanan kiri, utara selatan dengan mempertimbangkan suplai batu dan jumlah pasukan pemukul cadangan yang disiagakan di saat-saat genting dsb.

Terkadang sebagai warga biasa, kita berpikir bahwa para mahasiswa ini sebenarnya punya potensi jadi anggota militer, atau milisi terlatih saat negara dalam kondisi bahaya, atau jadi ahli perang sesungguhnya bila kesempatan itu diberikan secara resmi oleh negara, dengan latihan dan pendidikan resmi.

Paling minimal, mereka berbakat jadi pemanah (sebab terkadang ada diantaranya menggunakan busur), jadi pemain anggar (bagi yang berpedang) atau dapat dilatih sebagai atlet lempar bilah atau tolak peluru (bagi yang menggunakan batu sebagai senjata). Barangkali cara pandang kita atas perilaku negatif ini harus digeser dengan menatapnya pakai kacamata positif saja, negara perlu didesak mewadahi bakat terpendam tsb dengan penyaluran yang legal dan berguna. Maksa dotcom, hehe...

Kembali pada Mr. P, sehari sebelum kemungkinan tawuran akan pecah, dia membeli seekor ayam, yang diikat di samping kamar kostnya. Tatkala hawa tawuran kian panas, konsentrasi massa berkumpul di sejumlah titik, kemungkinan pecah ‘perang’ tinggal menunggu waktu, dia balik ke kamar kostnya, mengambil pisau dan menyembelih ayam dengan bantuan teman kamar sebelah, darah ayam ditampung dalam kantong plastik hitam.

Lalu Mr. P, mengambil diam-diam parang panjang, milik temannya, dia bersama seorang kawan bergegas memasuki area tawuran, saling serbu pun terjadi, saat kelompoknya menyerbu ia ikut melibatkan diri dan berbelok di sebuah ruang kosong, lalu melumuri parang, sebagian baju dan tangannya dengan darah ayam. Kesannya seakan parang Mr. P telah memakan korban. Saat kelompoknya mundur sejenak, ia pun kembali bergabung. Dan betapa semua orang terdiam dalam pertanyaan masing-masing, bahwa ternyata Mr. P ini tak bisa dipandang sebelah mata.... kelompok lawan pun yang melihat jadi bergidik, jadi tak berani mendekat...

Sejak saat itu, Mr.P menempati posisi tersendiri di kelompoknya, mulai dilibatkan menengahi berbagai ‘konflik’ dan walhasil atas mediasi yang dilakukan, sejumlah kesalahpahaman antar ‘kelompok yang bertikai’, sedikit banyak bisa dicarikan solusi terbaik tanpa perlu menggunakan jalan kekerasan.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun