Datanglah ke Wakatobi, jangan tunda lagi. Jangan biarkan diri lama menunggu. Cemburulah pada bule-bule itu. Terbang jauh dari Inggris, Amerika Serikat, Belanda, Australia dan bermacam negeri ujung. Rindu pada Wakatobi, membius mereka, sehingga terdorong untuk singgah. Wakatobi ialah “candu”, biarkan diri tergoda menjajal rasa pesonanya.
Sulit membuang fakta, bahwa setelah Bali, Wakatobi mengejar cepat sebagai destinasi wisata, paling digilai turis asing. Lautnya, pulaunya, budayanya, keramahan penduduknya.
Kita, kaum pribumi, pemilik asli nusantara, yang berarti pula pemilik Wakatobi, terjebak pada gengsi, terjerat bius untuk pelesir ke Singapura, Eropa dan seterusnya. Padahal dalam negeri saja, banyak yang indah-indah, atau mungkin demikian, yang Eropa kangen ke timur, yang timur pengen ke Eropa. Entah.
Menuju Wakatobi, berarti pula memanjakan diri dengan suguhan penuh ‘getar’, betapa tidak, dengan rute biasa, sebelum sampai di Wakatobi, anda akan transit di kota Baubau Sulawesi Tenggara. Bayangkan, diri anda sampai di pelabuhan laut, Murhum Baubau, bila memakai jasa kapal laut, dengan kapal Pelni dari Makassar atau Ferry, hilir mudik sekian kali dalam seminggu, atau lihatlah, anda telah mendarat di lapangan terbang Betoambari.
Di Baubau, percayalah, anda akan berjumpa pengalaman baru. Bahwa setidaknya sejak dulu hingga tahun 2011, hanya di Baubau-lah anda berpeluang melihat Benteng Pertahanan terluas di dunia, sekitar 23,375 hektar. Lumayan luas untuk ukuran benteng. Letak strategis, penuh daya magis, di atas barisan bukit berbatu. Berdiri megah, laksana tameng raksasa. Berdiri kukuh menyorot teluk Baubau. Dari lokasi benteng, kita kuasa meluaskan pandangan kemana-mana, mengawasi sekeliling. Benteng ini dibangun di atas bukit tinggi, dekat sumber air, di sisi kanan mengalir sungai Baubau. Pada masanya, lengkap dengan puluhan meriam portugis, mengacung dari titik tertentu. Di benteng, siapkan diri, terbang melintas waktu berabad silam, kala Baubau jadi Bandar transit penting di kawasan timur Indonesia, penghubung antara Makassar dengan Maluku atau Papua.
Atau izinkan, sisi spiritualitas anda terpercik hening, memasuki area mesjid kuno, Mesjid Agung Keraton Buton, berusia ratusan tahun. Bersebelahan dengan sejumlah situs sejarah, seperti batu ‘Popaua’ yang berbentuk mirip organ vital wanita, tempat pelantikan sultan tempo dulu. Di tempat ini, dahulu kandidat yang akan diresmikan sebagai Sultan, wajib mengucap sumpah dengan meletakkan kakinya tepat di atas batu. Pun anda akan bersua, tiang bendera berbahan kayu, berusia hampir empat abad. Luar biasa awet, tak lapuk dimakan oksigen, tanah dan waktu. Iya suasana magis religius, menghampiri siapapun yang berkunjung, tak peduli agamanya apa. Coba saja kalau tak percaya...
Oke, bila sahabat kompasianer tak berminat mencicipi jejak masa lalu. Cukup saja, anda berdiri di sepanjang dinding beton di halaman muka yang menghampar, panjang berkelok mengikut kontur tanah dan bebatuan, wow...amazing..! Indah, rasa damai menjalari sirkuit saraf hingga ke korteks serebri, betapa jauh di bawah sana, laut berkilat-kilat manja, tenang. Seakan hendak memberi salam pada Pulau Muna dan Pulau Makassar, berdiri bersehadapan dengan Pulau Buton.
Sebagai referensi awal, mungkin ada gunanya. Dari sekian kawan yang baru pertama kali berkunjung ke Buton, kebetulan saya temani berdiri di atas dinding benteng, semuanya pasti berkali-kali mengucap terima kasih, saya tak tahu apa alasannya? Apalagi bila disertai, menikmati hidangan ikan bakar plus kasuami (makanan tradisional Buton) di atas lokasi lawana lanto, kesempurnaan sensasi kuliner, tak tersedia di tempat manapun.
Setelah berpuas dengan benteng Keraton, silahkan berenang di pantai Nirwana, atau pergilah ke puncak bukit Maradadi; bukit batu berbentuk seperti kapal, kita seakan berdiri menantang laut, bak pelaut masa silam, menjelajah negeri baru. Atau bila anda gemar ‘berburu’ pakaian impor bermerek, serbu saja pasar Wameo. Anda akan terkejut-kejut melihat harga ‘miring’ pakaian.
Ah, sudahlah, lupakan Baubau, belilah tiket kapal ke Wakatobi, sebagai gambaran biaya, untuk harga tiket ke pulau terjauh (pulau Binongko), kalau belum berubah harganya cuma sekitar 80 ribu.
Di Wakatobi, anda bisa menikmati pemandangan bawah laut paling mengesankan di dunia, keindahan alam, pulau-pulau hijau, nyiur berjejeran, ikan murah dan sebagainya. Telah amat banyak cerita mengenai wakatobi bertebaran di dunia maya, anda ingin keterangan lengkap, silahkan masukkan saja di Google, masukkan kata kunci : Wakatobi. Tunggu sepersekian detik, wuzzzz...bertumpuk informasi, bahasa Indonesia atau asing..., jadi tak perlulah kita berjauh-jauh informasi tentang Wakatobi. Kata-kata yang pas adalah siapapun akan puas dan tercengang. Itu saja.
Sahabat..! Walau tak berguna, izinkan saya menulis sedikit, ihwal keterangan mulut ke mulut, ketika Pattimura berperang melawan Belanda, senjata (baca:parang) yang beliau gunakan berasal dari buatan tangan pandai besi asal Pulau Binongko, Wakatobi. Tentu terbuka kesempatan orang berdebat, untuk apa dan bagaimana? Tapi kalau memperhatikan model parang Pattimura, seperti itulah parang panjang made in Binongko. Semestinya ini bisa dikelola pemerintah setempat dan pemangku kepentingan untuk menghidupkan kembali label Wakatobi sebagai kepulauan tukang besi, hasil kerajinan besi seperti senjata dan sebagainya idealnya dapat menjadi ciri khas daerah, oleh-oleh khas Wakatobi. Apaaa...? Oleh-oleh parang..? Ya kenapa tidak..., asal disentuh sedikit dengan ‘seni’, pasti bernilai tinggi dan diburu oleh para kolektor dan penikmat keindahan. Terkesan, usaha tukang besi masih sebatas kerja sampingan saja, belum lagi memberi sejahtera bagi penggiatnya.
Mungkin ini tak penting dan tidak berguna, apa sih makna “Parang Pattimura” diproduksi oleh penduduk Wakatobi ? Paling tidak, itu jadi bukti, bahwa sejak dulu Wakatobi turut punya andil, mensuplai sekeliling, punya keunggulan komparatif. Bahwa terhadap Maluku dan juga Papua, ada proses persenyawaan, betapa para penduduk Maluku kini, tak sedikt berleluhurkan orang Wakatobi. Untuk itu, tentu butuh penelitian ilmiah, agar membuat terang semua. Dulu, sejak masih kanak-kanak, para lelaki di Wakatobi telah ‘diperkenalkan’ dengan sejata tajam “Sokka' atau badik khas asal Wakatobi. Itu berarti pula, dalam penilaian terukur, tumbuhnya kecintaan terhadap produk pandai besi. Namun jangan dimaknai berbeda, bahwa orang leluasa menggunakan ‘Sokka’, sebagai alasan petantang petenteng mencari lawan, bukan sekali lagi bukan. "Tradisi" itu, lebih kepada mengajarkan bahwa karya para pandai besi harus diapresiasi dan sebagai lelaki, kehormatan dan harga diri mutlak dijaga.
Nah, spirit “Parang Pattimura” dan juga senjata tajam “Sokka” semoga beralih wujud menjadi kerja nyata menjaga kelestarian eksosistem laut dan tanah gugusan pulau Wakatobi. Memelihara kehormatan, keamanan, kenyamanan dan keselamatan setiap tamu, yang berkunjung ke Wakatobi.
Datanglah ke Wakatobi, jangan tunda lagi...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H