Mohon tunggu...
Aslan Z
Aslan Z Mohon Tunggu... -

kata itu energi semesta

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kritis pada Televisi

17 Maret 2011   08:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:43 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era reformasi adalah surga bagi media massa; terutama televisi. Berlomba hadir merebut atensi pemirsa dengan bermacam konten, ada sajian berita, olahraga, gosip dan sebagainya. Kita terhenyak oleh sejumlah tayangan, yang patut diragukan niatnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Artis kawin cerai jadi topik, si anu tertangkap pakai narkoba 'ditiup-tiup', sehingga seakan-akan nampak bahwa perbuatan si oknum artis membahayakan keamanan negara. Demikianlah bila di pagi buta, kita berjumpa para guru agama, menyentuh sadar pirsawan lewat ajaran moral atau tayangan penuh hikmah. Maka belum lewat beberapa jam, berita "buruk" berlomba menyerbu, informasi dengan aura "negatif" dijejalkan sedemikian rupa ke dalam benak pemirsa. Semua berburu 'berita miring', seakan dari luasnya tanah Indonesia tak ada lagi kabar baik, tiada lagi hal positif; sedikit hal yang tak lazim langsung dikupas habis walau nilai berita dari liputannya layak dipertanyakan. Mari kita simak contoh berikut; kemarin saat cuaca buruk terjadi di Jakarta, seorang reporter salah satu TV swasta nasional, mengabarkan bahwa dinding gedung DPR rontok, mendengar informasi tersebut, saya yang sedang berkutat dengan sebuah pekerjaan, segera saja menyimak, suara televisi kubesarkan sedikit, walah...ternyata yang reporter tadi maksud dengan dinding rontok adalah sebuah tegel ukuran sekian senti yang terjatuh karena pengaruh hujan, saya pikir satu unit dinding dari gedung luas itu telah rontok. Pertanyaan usil, apa sih nilai berita dari reportase jurnalis tadi? Tak ada investigasi menggigit, apakah tak ada lagi berita lain dengan pembahasan berbobot? Tantangan bagi para jurnalis. Atau saksikan tema yang diangkat dari beragam diskusi televisi, utamanya dua stasiun tv dengan spesifikasi berita dan kajian isu tertentu . Cenderung melihat sesuatu dari sudut "kelemahan", kekurangan atau kelalaian akan menempati porsi utama. Tentu menyorot kelemahan tak salah, namun jika terlalu berlebih juga tidak sehat bagi pembentukan karakter bangsa. Apalagi bila sudah berniat membangun opini dengan agenda tertentu, maka diundanglah pakar atau pihak yang sehaluan dengan 'kesimpulan terselubung' mereka. Jujur kedua stasiun tersebut telah berjasa memperluas cakrawala berpikir rakyat, namun sungguh tak sehat jika 'sisi jelek' dari pemerintah atau pihak yang berseberangan dengan mainstream media mereka, lalu diumbar terus-menerus ke publik. Maksudnya, apakah tak sebaiknya sesekali meliput keberhasilan pemerintah, mengangkat betapa tidak selamanya pemerintah itu keliru atau tak bekerja. Jujurlah, bahwa ternyata masih ada kerja positif aparat negara, yang tersebar di seluruh tanah air. Boleh saja kan, kita balik bertanya, bahwa media TV di tanah air, sengaja atau tidak telah membuat syahwat belanja rakyat semakin menggila lewat iklan produk yang tak kenal waktu menghantam mata dan telinga kita, apalagi kala mengamati iklan dari produk-produk tersebut cenderung bombastis dan 'merangsang' kita untuk memperturutkan keinginan. Betapa televisi memelihara 'pertentangan' di dalam dirinya sendiri, pagi hari mengajak orang pada jalan kemuliaan agama, siang hari menyuguhkan aksi perampokan dan pemerkosaan, sore hari mempertontonkan gosip murahan para artis atau acara reality show yang mengeksploitasi habis kemiskinan rakyat, kemudian malam hari 'mengajari' kita cara 'membunuh', jual narkoba dan tipu menipu melalui tayangan film yang sulit lepas dari kekerasan dan kejahatan terstruktur. Televisi kita sulit untuk konsisten, apatah lagi bila topik tersebut potensial 'mengganggu' kenyamanan sang pemilik modal, jangan harap akan diekspos secara mendalam, paling banter diberitakan sejenak dengan pendekatan versi pemilik modal, sungguh kritisisme menjadi mimpi di siang bolong. Menatap layar sejumlah televisi di tanah air, sungguh kita 'beruntung' masih memiliki stasiun TVRI, walau relatif 'ketinggalan' dari sisi penyajian dan aspek desain tampilan dari menu yang ditawarkan, tapi TVRI mengajari kita banyak hal, kita bisa melihat aspek lain dari kerja anak bangsa yang membuat kita bangga dan tidak mual karena berita yang bersimbah darah/ kekerasan. Dari TVRI kita jadi tahu bahwa pemerintah daerah masih ada dan bekerja siang malam untuk membangun negeri, bahwa Tentara kita di perbatasan sana, ikhlas bekerja keras menjaga setiap senti kedaulatan negeri, hal ini saya pikir patut pula memperoleh apresiasi segenap rakyat. Lalu apakah mesti setiap berita yang tampil harus melulu keberhasilan? Tentu jawabnya tidak. Namun bila melulu melihat negeri dengan menggunakan kacamata peristiwa yang beraroma 'pesimis negatif' sungguh tidak bijak juga. Lelah rasanya hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun