Mohon tunggu...
Aslan Z
Aslan Z Mohon Tunggu... -

kata itu energi semesta

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sumpah Pemuda dan Seutas Tali

26 Oktober 2010   04:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:05 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia senantiasa tergoda untuk berkhianat, berkhianat kepada apa saja, pada orang tua, pada teman, pada janji suci, pada diri sendiri bahkan pada Tuhan yang telah mencipta. Dalam bahasa agama, sebelum ruh ditiupkan bersatu jasad, Tuhan mengambil sumpah, meminta persaksian manusia di alam arwah, agar mengakui keesaan Tuhan sebagai satu-satunya pencipta tanpa sekutu setitik pun.

Kita percaya manusia itu rentan berkhianat, lupa pada segala akar asalnya. Akar ketidakberdayaan, akar kelemahan, akar kebodohan. Ketika berkuasa menjadi lupa, seumpama Firaun konyol menahbiskan diri sebagai Tuhan. Saat memegang amanah malah menindas si pemberi amanah. Saat sudah pintar, digunakanlah kepintaran itu untuk membodoh-bodohkan orang. Manusia adalah makhluk pengkhianat, sebab itu dia harus disumpah. Sumpah menjadi pengingat baginya, seperti uban memutih, pengingat bagi usia yang kian aus, mendekati akhir penghabisan.

Jika tidak keberatan, mari melancong ke tanah Buton. Dahulu seorang calon sultan yang akan dilantik menjadi sultan harus mengucap sumpah di atas batu popaua (batu ini berbentuk organ vital wanita sebagai perlambang asal diri, perlambang kasih Ibu yang membuat kita kokoh tegak, berpencar di muka bumi). Kaki sang calon sultan diletakkan di atas batu popaua, kepala dinaungi payung kebesaran, tepat di tepi payung menjuntai kain tebal berbentuk tali, tali ini adalah pengingat, memiliki efek penggentar sebab bila sultan berkhianat terhadap sumpah yang diucap maka sebagai hukuman, lehernya akan dililit dengan tali sampai mati. Ini bukan ancaman main-main, seorang sultan bernama Oputa Gogoli Liwuto tercatat sebagai bukti, terpaksa diakhiri hidupnya, dihukum dengan cara leher dililit sampai mati.

Dalam bahasa Ali Syariati manusia itu mahluk bidimensional, ada proses tarik menarik konstan antara hasrat rendah kebinatangan dengan spirit suci ketuhanan, manusia berarak bergerak dalam dua gravitasi tadi, disitulah hidup menjadi seru penuh makna, kita tak ingin membayangkan sebuah hidup yang tanpa godaan, hidup tanpa tarikan nafsu kebinatangan tentu bukan hidup yang sebenarnya, justru karena kita punya otonomi atas tubuh ini maka hidup bermunculan sebagai pilihan yang berseni dalam gesekan api cinta Ilahiah.

Dalam kerangka demikian kita berniat meletakkan sumpah pemuda, keputusan kaum muda melawan peluang khianat dengan berteguh mengikat sumpah. Sebagai satu tanah, bangsa dan bahasa Indonesia. 1928 merupakan tahun dengan kondisi politik yang menempatkan penguasa kolonial berada pada posisi berkuasa atas tanah ini.

Mungkinbila kembali meneropong peristiwa tersebut dalam konteks kekinian, sumpah pemuda seakan momen yang biasa saja, dingin dan tidak menantang. Tetapi sekiranya saja kita bisa melesat tembusi waktu, menghadirkan diri di tahun-tahun menjelang 1928, sungguh mengikat sumpah apalagi yang mengandung bibit perlawanan terhadap kolonial bukan perkara gampang, belum lagi bagaimana melepaskan sentimen kesukuan yang kental itu. Jangankan lagi di tahun 1928, setelah berjalan 82 tahun setelah Sumpah Pemuda saja, proses integrasi suku-suku di tanah air masih menyimpan masalah serius, tak kunjung tuntas. Mari bersama mengingat rentetan kerusuhan bernuansa etnis, atau setidaknya tengoklah semangat kedaerahan yang dalam item tertentu justru ‘mencederai’ semangat sumpah pemuda. Isu “puteradaerah”, berlomba-lomba memekarkan daerah tanpa pertimbangan matang dan berkibarnya kembali fanatisme kedaerahan menjadi bom waktu tersendiri bagi semangat keindonesiaan.

Mengenang sumpah pemuda di tahun 2010, kita terbenam dalam malu, rasa bersalah pada tak kunjung membaiknya negeri. Satu Indonesia kemudian ditafsirkan berbeda, dalam penyelewengan, dalam korupsi, dalam penipuan, dalam penebangan hutan dan sebagainya. Jangan dilupakan bahwa bukan penjajah yang diusir itu yang membuat negeri ini kian bermasalah, namun oleh anak negeri sendiri. Oleh anak negeri yang berkhianat atas sumpah para pendahulu.

Akh, mengenang sumpah pemuda, kita melepas tanya, sekiranya saja usul ini diterima, belajarlah dari kearifan lokal yang bertebaran di banyak daerah, salah satunya; lilitlah leher para pengkhianat negeri dengan tali hingga maut menjemput. Itulah makna sumpah sebagai pengingat bagi kita, bagi kaum muda dan orang-orang tua.

Bagaimana menurut sahabat Kompasianer...?

Mohon usul dan pikiran cerdasnya.

foto pinjam dari google

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun