Mohon tunggu...
Aslan Z
Aslan Z Mohon Tunggu... -

kata itu energi semesta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Beda Pendapat dan Pujian

23 Agustus 2010   17:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:46 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Jangan terlalu manis sehingga engkau ditelan, jangan terlalu pahit sehingga engkau dimuntahkan” (Demokrates)

Dalam interaksi kita dengan orang lain, beda pendapat tak dapat dielakkan, sesuatu yang menurut anda sudah benar, mungkin salah menurutku. Demikian sebaliknya. Lalu bagaimana upaya untuk mendamaikan dua sudut pandang yang berlainan. Disitu salah satu keunikan hubungan interpersonal, menegosiasikan kutub yang tidak begitu persis sama atau bahkan bertentangan secara diametral.

Peristiwa bertolak pendapat ini dapat berlangsung di mana saja, tak pilih tempat dan tak pilih orang. Walau lagi pada dua sejoli, kekasih yang saling menyayangi. Atau begitulah nikmatnya hidup, ada rupa-rupa pandang yang tak sejalan. Lha namanya juga alam materi, tak ada sesuatu yang persis sama. Walau sesungguhnya dengan pendekatan fisikan kuantum, pada tingkat sub materi, keseluruhan penyusun itu sama, getaran energi quanta yang melingkupi segala.

Lalu bagaimana menempatkan diri dengan keinginan orang yang tak seiring jalan dengan kita, mengikuti begitu saja atau menolak mentah-mentah? Atau ditelisik dahulu, apa berfaedah atau buruk bagi saya. Bahwa persepsi yang berbeda akan memperkaya model pahaman kita, mengajak setiap anak manusia untuk melihat kenyataan yang belum sempat dilihatnya. Proses negosiasi perbedaan itu menantang, bagi mereka yang melihat hidup sebagai wahana penuh warna dimana ada kompromi dan sintesa, dibuat dari beberapa tesa yang berlainan. Apalagi jika dalam menyikapi perbedaan, masing-masing pihak telah memasang strategi bertahan, maka tak jarang bicara apa adanya adalah sebuah pilihan. Namun di dunia yang kian aneh ini, bumbu pergaulan tetap dibutuhkan, hanya seberapa besar kadar yang dapat ditoleransi. Bumbu pergaulan yang dimaksud, diantaranya barangkali adalah pujian.

Tetapi bagaimana menggunakan pujian dan bagaimana menyikapi pujian? Kaum politikus paling sering terkena “getah” saat mengkampanyekan program dan janji politik, dihadapan audiens, boleh jadi orang bertepuk meriah, gempita sekali, namun tiada yang bisa memberi jaminan pasti bahwa yang tengah berlangsung tadi bukan sebentuk kepura-puraan belaka, apalagi khalayak di tanah air pada kasus pilkada misalnya, tak sedikit yang mengambil kesempatan, mendukung sana dan mendukung sini. Setiap calon yang menyambangi niscaya diiyakan. Ya tentu sang calon sebagai rasa terima kasih akan menggelontorkan dana dan fasilitas bagi para pendukung. Sementara di sisi lain, betapa sulit menilai kesetiaan dari seseorang yang mungkin mendua.

Belajar dari sejumlah kasus, terbukti bahwa kebusukan janji bukan dominasi kaum elit saja. Kebusukan itu juga milik rakyat kecil, milik mahasiswa, milik pekerja kantoran. Jadi ada potensi kebusukan dalam kadar yang berbeda dalam diri tiap kita. Dalam bahasa kaum bijak, serupa tarik menarik antara terang cahaya dengan gelap tanah. Jiwa manusia ialah medan tarung abadi tak berhingga dari pesona keluhuran dan penyimpangan. Tetangga satu RT saya yang berprofesi sebagai tukang becak, pada musim kampanye lalu, melibatkan diri sebagai anggota tim penggembira dari beberapa pasangan kandidat eksekutif/ legislatif sekaligus. Ketika saya tanya, kenapa berbuat demikian, jawabnya ingin menyambung hidup. Walah.......! J

Pada hamparan yang lain, akibat pujian, para pemimpin bisa saja menjadi lalim dan tak memiliki belas kasih akibat ulah pengikutnya yang telah menempatkan pemimpin itu pada wilayah bebas kritik. Puja puji bertebaran di sekitar pemimpin yang hampir jatuh, terperosok ke lubang yang digali secara sadar atau tidak oleh pengikut-pengikutnya.

Kembali pada topik semula, bagaimana menangkal serangan pujian dari orang lain, berdiam saja dengan hati penuh bunga, tanpa sadar, diri seakan melayang, tak berpijak di tanah. Apa seperti ini? Bukankah ini akan membuat kita terlena dan dapat lalai dari kenyataan bahwa kita punya banyak kekurangan. Entah..?

Ah, saya teringat Plato yang pernah berujar: “Kalau ada orang yang memujimu padahal tidak ada jasa atau budi yang engkau berikan kepadanya, bersegeralah memberinya jasa dan budi. Kalau tidak, pujiannya itu akan berubah menjadi celaan”

Salam Kompasiana ! Salam Persahabatan !

--------

sumber foto : http://ejajufri.wordpress.com/2009/10/20/kenapa-manusia-tepuk-tangan/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun