Tanggapan atas tulisan dua Kompasioner.
Sungguh menarik hati, membaca tulisan dua Kompasioner cerdas : Pak dr.Joko Hendarto lewat ‘Takjub Dan Kasihan Pada Para Dokter’ dan Bang Afandi Sido dengan tulisan ‘Para Calon Dokter Itu Sombong Sekali’. Saya percaya ada hal menarik disitu.
Dr. Joko dengan penuturan kontemplatif bertenaga memaparkan betapa berat beban tugas dokter: “Seorang dokter bukanlah montir tanpa hati dan manusia yang dirawat dan berusaha disembuhkannya bukanlah mesin. Manusia yang mereka hadapi tidak hanya terdiri atas daging, tulang, arteri, nervus, vena dan lainnya. Tapi pada kedalaman diri orang-orang itu, ada juga jiwa-jiwa yang selalu rindu untuk disentuh dengan senyum dan kata-kata yang ramah. Belajar menjadi seorang yang ramah namun tetap kuat. Tidaklah mudah”.
Membaca paragraf di atas, saya seperti memasuki mesin waktu, melesat ke satu abad lampau, saat para mahasiswa kedokteran STOVIA, di hari-hari menjelang 20 Mei 1908, diam-diam di malam tertentu, menggelar rapat rutin di ruang anatomi sekolah mereka. Mematangkan gelegak jiwa untuk berhimpun, membentuk Budi Utomo (BU), organisasi yang oleh republik didaulat sebagai tiang pancang terbitnya kesadaran berbangsa.
Terlepas dari sejumlah pendapat yang meragukan momen berdirinya BU sebagai awal bangkitnya kesadaran nasional, paling tidak kita dapat melihat di hadirnya abad baru itu, anak-anak belia berusia belasan, buah didikan humanisme ala Belanda dan ditempa kondisi bangsanya; telah sanggup berbuat, melampaui tugas sejarahnya masing-masing. Di fragmen ini, tanpa bermaksud mengecilkan peran sosok lain, hadir sosok Wahidin Soedirohoesodo dan Soetomo. Wahidin sosok penting di belakang pendirian BU, semacam pemikir sekaligus penasehat. Soetomo yang mendirikan. Di kemudian hari, terlihat bahwa kedua dokter, serius berperan aktif bagi peningkatan status derajat kesehatan masyarakat. Tentu disamping itu, turut memberi terang pula dalam kesadaran rakyat banyak akan pentingnya lepas dari penjajah. Saya pernah membaca jurnal Ebers Papyrus tahun 1997, menurunkan topik dr.Soetomo yang menjalani praktek/ tugas berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain di tanah air, dari Jawa ke Sumatera, menikah dengan suster Belanda sebelum akhirnya melanjutkan pendidikan spesialis kulit kelamin di Hamburg Jerman, Yang menarik dari sosok Soetomo, di tengah kesibukannya juga terlibat dalam kegiatan ilmiah, tulisannya muncul di sejumlah jurnal internasional, misalnya tentang penyakit frambusia di Indonesia.
Pun Kedua dokter tadi dalam berpraktek misalnya tak menerapkan tarif, tergantung saja pada seberapa besar kemampuan rakyat yang menjadi pasien. Apalagi saat itu bagian terbesar rakyat kita tidak mampu. Saya tak ingin mengatakan bahwa tak ada lagi dokter seperti mereka sekarang. Setiap dokter pastilah humanis dan peka pada pasien walau memang sulit ditolak juga bahwa mungkin ada ‘oknum’ dari setiap profesi yang membuat gerah. Dokter itu profesi dengan toleransi nol persen kesalahan, tak boleh ada salah, ini kan luar biasa, dari sisi manusiawi, rasanya tak mungkin. Tetapi demikian adanya, jika montir di bengkel kendaraan yang membongkar mesin dan ada salah, mungkin dapat dimaklumi dan takkan sulit untuk memperbaiki ulang. Sementara kesalahan penanganan pada manusia yang sakit, pastilah tak boleh dilakukan oleh dokter, membayangkannya pun saya takut.
Kembali pada tulisan membahas dokter, dari Afandi Sido, tulisan Para Calon Dokter Itu Sombong Sekali, di paragraf ketiga :” Semangat muda para calon dokter ini sepertinya masih menyala-nyala. Mereka masih lebih suka nongkrong dan berbicara ini itu sambil tertawa-tawa di depan orang-orang di sekitar mereka. Beberapa di antara mereka memang menunjukkan tingkah laku “tidak enak” dengan sesekali melihat keadaan pasien, namun yang lainnya nampak menikmati apa yang di benak mereka dianggap sebagai “Profesi yang Spesial karena dicapai dengan pengorbanan yang besar”: Dokter.
Ini menarik bahwa rekan kompasioner, Afandi punya kepedulian pada sosok anak bangsa yang lain. Dimana pilihan menjadi itu adalah bebas milik setiap manusia, bahwa setiap individu punya kedaulatan untuk menentukan sikap dalam menggapai pilihan. Termasuk hal yang dipertontonkan oleh para calon dokter kita itu telah mengusik rasa dalam diri, namun setidaknya kita masih percaya bahwa mereka para calon dokter itu juga manusia biasa, punya harapan dan keinginan berubah, untuk mengabdi pada kemanusiaan, saya percaya itu. Mari kita sama-sama berdoa. Apalagi mengingat beratnya beban yang ditanggung para calon dokter/ dokter baik semasa dalam masa pendidikan; belajar dan kewajiban praktek lapangan, seperti yang dibahasakan oleh dr.Joko Hendarto : “Tapi cobalah sesekali berkunjung ke rumah sakit dan melihat-lihat bagaimana para calon dokter juga dokter spesialis itu belajar dan dididik. Anda akan mendapatkan wajah-wajah yang mungkin kelelahan. Ada yang dalam hitungan waktu 24 jam belum pernah memejamkan mata sama sekali.” Sungguh bukan pekerjaan main-main, pilihan berat telah diputus tatkala para calon dokter dan dokter memilih mengambil takdir sebagai tenaga medis, pengabdi manusia dan kemanusiaan. Karena belajar tentang manusia maka wajiblah mereka untuk menerapkan model long life education belajar seumur hidup, sebab ilmu pengobatan berkembang terlalu pesat melampaui batas-batas kesanggupan manusia biasa untuk mengikuti, terkadang sih begitu. Apalagi bagi mereka yang bertugas di perifer dengan segala keterbatasan.
Sebagai penutup, simak tulisan lanjut dari Afandi :”Tapi tetap saja, saya kurang nyaman melihat pemandangan ini, apalagi di sebuah rumah sakit umum yang difavoritkan oleh kebanyakan kalangan menengah ke bawah (walaupun harga pelayanannya masih selangit).”. Inilah kritik konstruktif bagi perbaikan pelayanan kesehatan untuk terus berbenah dan mempersembahkan pengabdian terbaik. Salam. ----------- foto berasal dari :
http://www.femina-online.com/issue/issue_detail.asp?id=300&cid=2&views=144
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H