Oleh :
Aslamuddin Lasawedy
Pemerhati masalah Budaya dan Politik
BUKU berbicara dalam bahasa abadi, di dalam senyap lembar demi lembar. Ia tidak bersuara, tapi menggema dalam jiwa. Ia tidak bernapas, namun memberi kehidupan. Buku bukan sekadar tumpukan kertas dan tinta, melainkan tubuh dari pemikiran. Roh dari hikmah. Jejak dari jiwa yang pernah bermimpi.
Buku adalah pengingat akan kefanaan manusia yang selalu bersikeras melawan waktu. Tatkala suara manusia padam, ketika tubuhnya luluh dalam tanah, pikirannya tetap menyala di antara halaman.
Buku adalah cermin yang dipahat dari pikiran. Ia tidak hanya memantulkan dunia, pun mempertanyakannya. Siapa aku? Dari mana datangnya aku? Ke mana aku akan kembali? Pertanyaan-pertanyaan itu dipeluk oleh buku, seperti doa yang tak selesai dibaca.
Buku adalah wahyu kecil yang meniru yang besar. Setiap kata yang benar dalam buku, mengarah pada Sabda. Buku adalah sumber inspirasi, tempat di mana ide dan kebijaksanaan bersemayam. Buku menjadi jembatan antara seorang hamba dan Sang Pencipta, pada setiap cerita yang mengangkat nilai kebaikan, pada setiap puisi yang menyinggung yang tak terkatakan.
Buku mengajarkan kerendahan hati, sebab ia tidak memilih siapa pembacanya. Ia terbuka bagi yang miskin pun yang kaya, yang bijak pun yang bodoh. Ia membuka dirinya, menyatukan perbedaan.
Bila membaca adalah ibadah intelektual. Perenungan spiritual. Pencarian eksistensial. Buku adalah doa yang dibisikkan lewat akal.
Buku tidak bisa menyelamatkan manusia layaknya agama. Namun, ia bisa membimbing. Ia bukan Tuhan, namun sering menjadi perantara-Nya. Dalam keheningan perpustakaan dan kesunyian kamar yang penuh buku, banyak jiwa terselamatkan dari keputusasaan oleh satu kalimat yang menyala dalam gelap. Buku adalah lentera kecil dalam gelap dunia. Lentera kecil yang bisa menyala menjadi terang benderang.
Dan ...
Bukankah Tuhan sendiri, dalam banyak tradisi agama, memilih buku sebagai cara-Nya menyapa manusia? Entahlah...