Mohon tunggu...
aslamarija_
aslamarija_ Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Film and Television Student

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Tradisi Sendhang Mbah Meyek: Pagelaran Wayang Kulit di Bulan Suro

1 Januari 2025   14:25 Diperbarui: 2 Januari 2025   20:42 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Kirab Budaya (Sumber: Dokumentasi asli penulis)

Gambar 2. Pertunjukan Reog (Sumber: Dokumentasi Asli Penulis) 
Gambar 2. Pertunjukan Reog (Sumber: Dokumentasi Asli Penulis) 

Gambar 3. Pagelaran Wayang (Sumber: Dokumentasi asli penulis)
Gambar 3. Pagelaran Wayang (Sumber: Dokumentasi asli penulis)

Di tengah pesatnya perkembangan zaman, tradisi seringkali di kesampingkan oleh modernisasi. Namun, di kota Surakarta, terdapat tradisi budaya yang masih di lestarikann oleh masyarakatnya, yakni tradisi Wayangan Sendhang Mbah Meyek. Tradisi ini masih erat dengan masyarakat di Bibis Kulon. Letak lokasi Sendhang Mbah Meyek ini di Desa Bibis Kulon RT05 RW17, Gilingan, Banjarsari, Surakarta. Sendhang Mbah Meyek menjadi saksi pelestarian budaya Jawa yang masih kental hingga kini.

Tradisi di Sendhang Mbah Meyek tidak hanya menjadi simbol spiritual, tetapi juga pengingat akan pentingnya menjaga hubungan antara manusia, alam dan Sang Pencipta. Tradisi ini rutin diadakan satu tahun sekali, di bulan Suro, bulan pertama di kalender Jawa. "Setiap tahunnya, tepatnya di bulan Suro pada malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon, tetapi lebih diutamakan Jumat Kliwon, Sendhang Mbah Meyek harus diwayangi. Sudah menjadi tradisi dari zaman dulu. Tradisi ini sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur" Ucap Ubah Himin (71), sesepuh di desa Bibis Kulon.  

Tradisi tahunan ini terdiri dari bersih desa, bancakan, kirab budaya, pertunjukan reog, hingga pagelaran wayang kulit. Tradisi ini untuk  merawat, menghormati dan melestarikan nilai-nilai budaya yang diwariskan leluhur.  Tradisi ini dimulai dengan pembersihan tujuh sendhang, termasuk Sendhang Mbah Meyek. 

Pembersihan tujuh sendhang dilakukan secara gotong royong oleh warga, mencerminkan semangat kebersamaan yang menjadi inti dari Budaya Jawa. Setelah pembersihan sendhang diadakan bancakan, yaitu syukuran makanan tradisional yang dimpersembahkan kepada leluhur dan dibagikan kepada warga. Pada siang sampai sore harinya, digelar kirab budaya. Kirab ini dimulai dengan barisan sesepuh atau tokoh Masyarakat yang membawa wayang kulit. Barisan kedua diisi dengan gunungan hasil bumi, yang melambangkan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan dan diikuti dengan tim reog di belakangnya dengan iringan gamelan jawa yang indah. Setelah kirab selesai dilanjutkan dengan pertunjukan reog dengan pentonton yang sangat antusias. Puncak acaranya yaitu pagelaran wayang kulit yang di gelar mulai pukul 20.00 hingga semalam suntuk.

Pada tahun 2024, pagelaran wayang kulit ini berlangsung pada hari Kamis, 11 Juli dengan lakon Wahyu Manunggal. Dibawakan oleh dalang ternama Ki Djatmiko Anom Suroto Putro dan Ki KRT Diwasa Diranagara S,Sn. Kehadiran dua dalang hebat ini berhasil membawakan pertunjukan wayang kulit yang memukau. Pagelaran wayang ini banyak dikunjungi penonton dari berbagai penjuru daerah. Tradisi ini tidak hanya menjadi sarana penghormatan kepada leluhur, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap ancaman kepunahan budaya lokal. Dengan mempertahankan tradisi ini, masyarakat menunjukkan bahwa modernisasi dapat berjalan beriringan dengan pelestarian budaya. Sesuai dengan ucapan sesepuh Desa Bibis Kulon, Mbah Himin (71) "Di uri-uri budayane wong Jowo, wong Jowo ojo ilang Jowone," yang berarti kita sebagai orang Jawa harus melestarikan budaya Jawa agar tidak hilang identitasnya.


Di tengah arus budaya asing dan perkembangan teknologi, Masyarakat Bibis Kulon berhasil mempertahankan tradisi lokal, menjadikannya tetap relevan di era modern. Tradisi ini mencerminkan nilai nilai gotong royong, bentuk rasa syukur, dan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang menjadi teladan bagi masyarakat di tengah era modern. Tradisi seperti ini harus tetap dijaga dan dilestarikan sebagai warisan budaya yang berharga untuk generasi yang akan mendatang.

Nama : Aslama Rija Enindra 

Program Studi Film dan Televisi, ISI Surakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun