"Jika terpaksa pisah di tengah-tengah langkah. S'lamat tinggal, semoga bahagia". Silampukau makin merdu mendendangkan lagunya. Sementara Bu Dinar terus bercerita mengenai perkembangan buah hati kesayangannya, Brilian. Saat itu, aku dan salah seorang rekan mendapat kesempatan untuk tinggal bersama teman-teman disabilitas di salah satu desa di Bandung Barat.
Ya, Brilian adalah satu dari sekian banyak anak dengan disabilitas di Bandung Barat. Kata Bu Dinar, yang selanjutnya kami sebut Mama. Brilian awalnya adalah anak yang lahir premature kemudian menjadi hyper-sensitive dan sulit beradaptasi. Pun selama tiga hari difasilitasi oleh Yayasan Sayangi Tunas Cilik untuk tinggal bersama, interaksi dengan Brilian sangat minim sekali.
Mama mengisahkan, Brilian sebenarnya adalah anak yang ceria dan sangat gemar melawak. Pernah suatu kali sehabis mandi, Brilian yang telah selesai dengan ritual ganti baju tiba-tiba memasang gaya jari telunjuk dan ibu jari menopang dagu. Sembari memaksa Mama mengakui betapa kasep*-nya Brilian.
Tapi kepada orang yang baru ditemui, Brilian akan sulit sekali. "Ya begitu, Mbak. Brilian memang pemalu sekali. Padahal mah sehari-hari dia banyak aktivitas. Naik turun tangga, menyanyi di loteng". Aku tersenyum tipis.
Hari berikutnya, Brilian mengikuti terapi rutin yang diadakan oleh RBM atau Rehabilitasi Berbasis Masyarakat. Sepanjang terapi, aku banyak melihat Brilian menyusun puzzle, bermain susun warna, tersenyum. Ah bahagianya melihat Brilian. Terapis bilang Brilian masih harus sering terapi agar hyper-sensitive nya dapat berkurang.
Terapis menambahkan, hyper-sensitive itu juga yang menjadi kendala karena membuat Brilian malu-malu dan sulit berinteraksi dengan terapis ketika tidak bertemu dengan terapis dalam waktu yang relative lama.
Seusai terapi, kutemui Brilian tengah asyik menikmati Baso Cuanky di ruang tengah. Ganjil menurutku. Sebab selama tinggal bersama keluarga Brilian, aku belum pernah sekalipun melihat Brilian makan dengan mandiri tanpa bantuan Mama.
Seolah mengetahui keherananku, Mama tersenyum sambil menyahuti aku yang memuji Brilian karena bisa makan secara mandiri. "Kalau makan Cuanky mah dia bisa makan sendiri mbak" seraya melirik Brilian yang masih asyik menikmati makanannya.
Ada satu hal yang menarik dari Brilian. Mungkin tiga hari tinggal bersama, menemani bermain, berjamaah di masjid, makan bersama-membuat Brilian merasa dekat dan mulai mengenal kami, aku dan Nadia. Ketika siang hari di hari terakhir kami berada di Kantor Desa untuk melakukan audiensi dengan Bapak Kepala Desa, Brilian menanyakan keberadaan kami berulang kali kepada Mama. Ah, sepertinya Brilian mulai merasa bahwa kami berdua adalah kakaknya.
Sore harinya kami berpamitan. Setelah menyampaikan beberapa pesan dan harapan kepada kami, dengan berurai air mata Mama berharap kami semua masih bisa menjadi 'keluarga' lagi. Aku mengangguk sambil mengusap ekor mataku. Ketika ku jabat tangan Brilian, aku tau ia juga kehilangan kami. Ku pesankan padanya agar tetap semangat bermain hadrah* dan bersekolah. Ketika ku tanya sekali lagi mengenai keinginannya untuk masuk pesantren di Jawa. Kali ini Brilian mengangguk dengan mantap.
Di depan pintu aku melambai, sambil berteriak kecil pada Brilian "Kita Saudara, kan?" ku lihat ia tersenyum memamerkan gigi ompongnya sambil bersembunyi di balik badan Mama. Semoga siapapun kita, tidak pernah kehilangan keyakinan untuk terus bermimpi dan bercita-cita. "Jika terpaksa pisah di tengah-tengah langkah. S'lamat tinggal, semoga bahagia", dan lagu Silampukau makin sayup terdengar. Sampai Jumpa kembali, Jagoan!