Belanda kelihatannya sulit sekali meminta maaf kepada Indonesia, padahal negara-negara jajahan Belanda yang relatif jauh lebih kecil saja, pemerintah Belanda sampai rela mengirimkan menteri-menterinya untuk menyampaikan permintaan maaf secara langsung kepada pemerintah negara bekas jajahannya, seperti Suriname dan lain-lain. Itu dapat dilihat pada berita baru-baru ini yang sempat menimbulkan pro-kontra.
Kalau kita mau menengok dari sudut pandang Belanda terhadap Indonesia, mungkin saja mirip dengan saat Indonesia melihat Timor Leste, bahkan lebih rumit dari itu. Kasusnya tidaklah sesederhana itu, banyak ruang dan waktu yang harus ditelusuri dan dikaji lebih dalam.
Hingga saat ini tidak sedikit di kalangan kita di Indonesia yang masih menyayangkan terlepasnya Timor Timur atau kelak bernama Timor Leste dari pangkuan ibu pertiwi. Seakan-akan mereka tidak rela Timor-Timur yang pernah diperjuangkan dengan darah dan modal yang tidak sedikit itu akhirnya menikmati kemerdekaan.
Bisa saja Belanda seperti itu, masih banyak generasi di negeri itu yang masing mengganggap seharusnya Hindia Timur Belanda itu tidak merdeka begitu saja menjadi Indonesia. Meskipun rakyat Hindia Timur banyak yang menderita karena eksploitasi pemerintah kolonial Belanda, di sisi lain, juga sangat banyak tentara Belanda yang terbunuh di Hindia Timur ini, belum lagi modal besar yang telah banyak dikucurkan selama beberapa ratus tahun penguasaan mereka di negeri ini.
Pasti banyak yang akan protes, Belanda itu banyak dosa lho, tidak terhitung kekejaman yang telah mereka lakukan kepada rakyat Hindia Timur. Itu pula yang kemungkinan besar akan dipikirkan oleh rakyat Timor Leste saat ini.
Nampaknya dalam menghitung dosa sejarah itu tidak bisa menggunakan kalkulasi jumlah nyawa yang hilang atau besarnya harta yang terampas. Dalam kacamata suatu negara, seratus korban jiwa bisa saja tetap dianggap tidak sepadan dengan ribuan jiwa rakyat negara lain yang dibunuh oleh rezim mereka.
Memandang jalannya sejarah sebaiknya tidak dilihat hanya dari satu sudut pandang saja. Begitu pula menilai mengapa Belanda sulit sekali meminta maaf kepada Indonesia, tapi aku yakin cepat atau lambat, suatu saat waktu generasinya sudah jauh berbeda, mereka tidak akan keberatan meminta maaf kepada Indonesia, sekaligus menutup lembaran kelam sejarah penjajahan Belanda di Hindia Timur beberapa ratus tahun lalu.
Pandangan semacam ini memang tidak popular, masih lebih populer untuk meminta pembalasan setimpal bagi dosa-dosa para penjajah, namun setidaknya pandangan semacam ini dapat memperkaya wawasan kita, bahwa sejarah itu kaya akan view yang berbeda dari para pelakunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H