Disadur dari buku Adicerita Hamka, mengisahkan adanya suatu peristiwa yang menjadi salah titik penentu dalam karir seorang Hamka kedepannya. Apakah dirinya kelak akan lebih berfokus menjadi seorang ulama atau justru politisi.
Sebelum kedatangan bala tentara Jepang dan diikuti dengan penjajahannya di Indonesia, Hamka merupakan salah seorang tokoh penting dalam percaturan politik di Sumatera, terutama Medan, karena aktivitasnya beliau lebih sering dilakukan di sana.
Penjajahan Jepang, mendorong karir politiknya menjadi memuncak, meski ayahnya Haji Rasul cenderung lebih suka berkecimpung dalam dunia pendidikan dan dakwah, hal itu nampaknya diperluas lingkupnya oleh anaknya, ke arah dunia politik.
Sebagaimana tokoh-tokoh lainnya di Jawa dan Sumatera, seperti Sukarno dan Hatta, Hamka juga sering dilibatkan oleh penguasa militer Jepang di Sumatera. Tentu saja dalam rangka memberikan kesan kepada rakyat, bahwa keberadaan pemerintahan militer Jepang ini lebih dirasakan sebagai penolong dibandingkan penjajah yang ingin mengeksploitasi.
Termasuk Hamka, yang kemudian banyak diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan pemerintah pendudukan untuk menjadi corong propaganda ke rakyat. Seperti diberikannya fasilitasi diadakannya ceramah-ceramah umum yang juga diliput media, sehingga menjadikan gaung penginformasiannya lebih maksimal ke pelosok daerah di Sumatera.
Bahkan tidak jarang, pemerintah pendudukan Jepang sendirilah yang mengadakan rapat umum, di mana pengisinya sebagian adalah para ulama dan penceramah agama. Padahal saat masih dalam penjajahan Belanda, berkumpul saja sudah dapat diancam hukuman, termasuk hukuman buang.
Hamka termasuk yang terpilih untuk menyampaikan ceramah tersebut, hal itu lalu tidak disia-siakan oleh dirinya untuk menyebarluaskan ide-ide nasionalisme dan tentunya ajaran agama Islam yang diyakini Hamka. Yang biasanya Hamka kemana-mana naik sepeda, sekarang pemerintah pendudukan Jepang justru menyediakan mobil buat antar jemput bagi para penceramahnya, termasuk Hamka.
Akan tetapi setiap keputusan itu pastinya ada ekses negatifnya. Termasuk kedekatan Hamka dengan penjajah Jepang. Dirinya sempat kawatir sekali ditudung sebagai kolaborator Jepang, hatinya semakin meringis setelah menyadari betapa kejamnya penjajahan Jepang, bahkan apabila dibandingkan masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang sudah mengakibatkan banyak kematian, terutama karena banyak tenaga rakyat yang diperas untuk menjadi romusha atau pekerja rodi yang dilakukan dimana-mana.
Kenyataan itu diakui sempat membuat Hamka menyesal,yang selanjutnya mendorongnya untuk keluar dari lingkaran para penceramah propaganda Jepang. Kekawatiran akan pembalasan pihak rakyat yang tertindas itulah yang juga mengkawatirkan dirinya.
Namun karena kedekatannya dengan penguasa militer Jepang di Sumatera, ia terbujuk untuk kembali bergabung membantu propaganda Jepang, apalagi posisi Jepang di medan peperangan pada palagan Pasifik menunjukkan tanda-tanda yang kurang menguntungkan Jepang, membuat mereka semakin membutuhkan bantuan rakyat jajahannya.
Tapi malang tidak bisa ditampik, kekalahan Jepang akhirnya di depan mata juga. Hamka yang mengetahui situasi itu menjadi cemas dan panik. Dengan mempertimbangkan akan keselamatan diri dan keluarganya, menjadikannya mengungsi ke tanah kelahirannya di Sumatera Barat, di saat Medan sudah vacuum of power karena Jepang telah berstatus kalah perang dan menyerahkan kekuasaanya kepada sekutu.