Pandangan Bawaslu Kota Bandung dalam Melihat Fenomena Politik Uang pada Tahapan Pemilu 2024 Pendahuluan Penyelenggaran pemilu di Indonesia menjadi satu agenda penting yang harus tetap bergulir untuk menunjang prinsip demokrasi di negara ini. Pada prinsipnya pemilu dimaknai sebagai sarana sirkulasi kekuasaan yang menjadi pembeda sistem demokrasi dengan sistem lainnya (Budiardjo, 2007).Â
Selain itu, pemilu juga dapat diartikan sebagai proses memindahkan konflik kepentingan yang dimiliki oleh rakyat kepada wakil-wakilnya yang akan menduduki kursi di parlemen. Pemilu juga didefinisikan sebagai sarana untuk memobilisasi suara rakyat agar dapat dilimpahkan sebagai dukungan untuk pemerintah dan negara.Â
Segala definisi tentang pemilu tersebut akan terealisasikan secara ideal jika pada pelaksanaannya menyertakan prinsip bebas,jujur, dan adil. Salah satu pihak penyelenggara pemilu yang mengemban tugas untuk mengawasi, mencegah, dan menindaklanjuti setiap jenis pelanggaran yang ada dalam pemilu adalah Bawaslu.Â
Ketua Bawaslu RI saat ini, Rahmat Bagdja, pernah memberikan intruksi yang disampaikan kepada seluruh Bawaslu yang ada di Indonesia agar mengutamakan proses pencegahan untuk meminimalisasi terjadinya pelanggaran yang masif dalam pelaksanaan pemilu. Pihak Bawaslu meyakini bahwa akan sangat sulit jika kasus pelanggaran yang terjadi dalam pemilu mengalami eskalasi besar-besaran.Â
Maka dari itu, mereka menekankan beban kerja bertumpu pada pencegahan pelanggaran agar setiap didapati indikasi pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh para kontestan pemilu, Bawaslu bisa langsung melakukan pencegahan sesuai dengan kewenangan yang mereka miliki.Â
Memperluas mitra kerja untuk membantu dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dan pencegahan juga dapat dilakukan dengan membentuk kelompok kerja yang berisi lembaga-lembaga seperti, organisasi masyarakat setempat, institusi pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain.Â
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pengawasan dan pencegahan dengan memperluas lingkup kerja mereka. Terlebih, peserta pemilu biasanya merupakan politikus-politikus senior cerdik yang memiliki segudang taktik jitu untuk mengelabuhi pihak penyelenggara.Â
Salah satu jenis pelanggaran pemilu yang marak terjadi di Indonesia adalah praktik politik uang. Fenomena ini terkesan sangat menyebalkan dan semakin menunjukkan bahwa kecacatan negara Indonesia sebagai penganut demokrasi dapat tervalidasi kebenarannya.Â
Faktor yang mendasari fenomena ini berlangsung terus-menerus adalah pemahaman masyarakat dalam memandang politik dan kebutuhan masyarakat dalam memenuhi kecukupan hidupnya. Banyak masyarakat yang memandang agenda pemilu ini sebagai pesta demokrasi.Â
Suatu pesta akan selalu identik dengan yang namanya hadiah dan mungkin karena ini, 'hadiah' akan selalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu dalam sebuah pesta yang diselanggarakan. Penulis mendefinisikan hadiah sebagai imbalan yang diberikan oleh peserta pemilu dengan harapan mereka akan mendapatkan suara untuk memenangkan kontestasi.Â
Pada akhirnya fenomena politik uang ini akan selalu identik dengan praktik korupsi yang kasusnya sama menjalarnya dalam dunia politik di Indonesia. Hal ini sangat mudah dipahami karena jika memang konsepnya adalah semangin banyak uang yang dikeluarkan akan menjadikan peluang menangnya semakin besar, ini akan berdampak pada praktik korupsi yang sangat mungkin dilakukan jika calon itu terpilih.Â
Kebutuhan masyarakat untuk memenuhi kecukupan hidupnya juga menjadi satu faktor penting yang menjadikan praktik politik uang akan selalu mendapat ruang bagi mereka yang membutuhkan.Â
Bahkan, masih banyak masyarakat di beberapa tempat tertentu yang menormalisasi hal ini sebagai kebiasaan yang terjadi pada saat tahun-tahun pemilu. Pada intinya, praktik politik uang akan tidak akan pernah hilang sampai kapanpun jika masih terdapat pihak-pihak penerima di dalamnya. Pembahasan Persoalan politik uang dapat dipetakan menjadi 4 spektrum.Â
Pertama adalah politik uang yang dilakukan antar elite ekonomi (pemilik modal) dengan pasangan calon yang akan menjadi pemangku kebijakan. Kedua adalah praktik transaksional yang dilakukan oleh pasangan calon dengan partai politik yang menjadi kendaraan mereka agar dapat lolos sebagai calon pengambil kebijakan.Â
Ketiga adalah praktik politik uang antara pasangan calon dan tim kampanyenya dengan pihak-pihak yang memiliki wewenang dalam proses penghitungan suara. Keempat sekaligus yang paling banyak kasusnya adalah praktik politik uang yang dilakukan oleh pasangan calon dengan massa pemilih.Â
Setelah dikaji lebih dalam, ruang lingkup dari praktik politik uang sebetulnya sangat luas. Hal ini yang menjadikan Bawaslu sulit untuk melakukan penindakan terhadap peserta pemilu yang melakukan pelanggaran ini. Belum lagi Bawaslu tidak memiliki wewenang untuk memutuskan perkara kecuali jenis pelanggaran tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran administratif.Â
Salah satu komisioner Bawaslu Kota Bandung pernah menjelaskan bahwa Bawaslu bekerja sesuai amanat Undang-Undang. Artinya, dalam melakukan pencegahan terhadap praktik politik uang itu pasti dan sudah menjadi kewajiban, namun untuk hal-hal yang tidak berlandaskan Undang-Undang Bawaslu tidak dapat bekerja di luar kewenangannya (Santoso, 2017).Â
Sebagai salah satu contoh kasus empiris tentang dugaan pelanggaran politik uang, penulis menemukan satu contoh kasus yang terdapat di Kota Bandung. Pada saat penulisan ini dibuat, status kasus yang sedang ditangani oleh Bawaslu Kota Bandung masih bersifat rahasia. Demi menjaga keamanan data karena masih terdapat asas praduga tak bersalah, penulis akan merahasiakan identitas lembaga maupun individunya.Â
Saat ini Bawaslu Kota Bandung bersama Sentra Gakkumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu) sedang menangani kasus dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh salah satu calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Calon anggota DPR RI ini tergabung dalam Dapil 1 Jawa Barat (Daerah Pemilihan Kota Bandung-Kota Cimahi) yang mana calon anggota legislatif ini diduga melakukan pembagian sembako secara gratis. Jika melihat Pasal 280 ayat 1 huruf J dalam UU No 7 Tahun 2017 itu ditegaskan bahwa peserta dan tim pelaksana kampanye dilarang menjanjikan dan atau memberikan uang dan atau materi lainnya kepada peserta kampanye.Â
Secara kronologis, Bawaslu Kota Bandung saat ini sudah mendapatkan bukti-bukti awal sebagai bukti permulaan dugaan pelanggaran tersebut. Pada tanggal 12 Desember 2023, setelah mendapatkan bukti-bukti permulaan, Bawaslu Kota Bandung sudah melakukan registrasi untuk dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu ini. Bawaslu Kota Bandung juga telah melakukan kajian awal yang menghasilkan syarat formil dan materilnya terpenuhi untuk syarat registrasi. Langkah selanjutnya Bawaslu Kota Bandung akan melakukan proses pembahasan bersama Tim Sentra Gakkumdu. Kronologi kasus dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu yang dilakukan oleh salah satu Caleg Dapil 1 Jawa Barat sampai pada penulisan ini masih dalam proses pembahasan bersama Tim Sentra Gakkumdu.Â
Berikutnya, jika pembahasan sudah selesai, Bawaslu Kota Bandung akan meminta klarifikasi terlapor dengan memanggilnya ke kantor untuk diminta keterangan. Kasus dugaan pelanggaran politik uang ini masuk dalam kategori keempat sesuai dengan apa yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, yaitu praktik politik uang yang dilakukan oleh pasangan calon dengan massa pemilih (Aspinall & Berenschot, 2019). Kasus tersebut lumrah terjadi dari pemilu ke pemilu, modus yang dilakukan oleh para calon eksekutif maupun legislatif seakan mendesak pihak penerimanya untuk melakukan simbiosis mutualisme.Â
Padahal, jika dikaji lebih dalam hal ini akan berdampak pada mutualisme yang semu. Keterpilihan mereka yang melakukan pelanggaran politik uang sangat berdampak buruk pada tatanan bernegara, jika secara proses seleksi mereka melakukan tindakan suap-menyuap, bukan tidak mungkin ini akan berimplikasi ketika mereka mendapatkan kursi jabatan di pemerintahan. Situasi yang menuntut masyarakat akhirnya menerima praktik politik uang adalah ketergantungan yang sangat tinggi.Â
Ditambah beberapa tahun belakangan ini sangat viral dengan apa yang dinamakan "serangan fajar". Alih-alih peserta pemilu tidak ingin mereka menjadi terduga kasus pelanggaran oleh Bawaslu, mereka memainkan praktik serangan fajar ini dengan mendatangi rumah-rumah warga tepat di hari pencoblosannya itu berlangsung.Â
Kedatangan mereka ini tentunya bukan tanpa alasan dan identifikasi yang mendalam, berdasarkan apa yang dijelaskan oleh salah satu komisioner Bawaslu Kota Bandung, para calon anggota eksekutif maupun legislatif bersama tim kampanyenya biasanya mendatangi rumahrumah warga yang masih menjadi variabel bebas atau dinyatakan bukan sebagai simpatisan salah satu partai atau calon tertentu. Terlebih, tingkatan ekonomi warga yang didatangi juga rata-rata kelas bawah yang mudah dipengaruhi dengan uang atau materi lainnya yang menguntungkan. Pada prinsipnya, praktik politik uang masih menjadi bagian dari fenomena klientelisme atau budaya patron-klien (Trantidis, 2016).Â
Fenomena patron-klien didefinisikan dengan menyebut kelompok yang memiliki keistimewaan tertentu (patrons) memberikan keuntungan yang dapat berupa uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada pendukungnya yang loyal (clients) (Muhtadi, 2013). Fenomena patron-klien ternyata berkaitan dengan lemahnya partai yang berjalan dengan basis ideologis di Indonesia. Pada kenyataannya, dewasa kini memang banyak sekali ditemukan kalau partai politik di Indonesia cenderung berjalan pragmatis.Â
Nilai-nilai yang dicantumkan dalam AD/ART partai seakan menjadi formalitas semata untuk memenuhi persyaratan administrasi. Kelemehan ini yang dijadikan ruang oleh para oknum yang gemar melakukan praktik politik uang agar mereka dapat lebih leluasa dan menjadikan ini semua seakan lumrah terjadi (Kitschelt, 2010).Â
Secara singkat, partai politik di Indonesia telah gagal membangun branding dengan melakukan pendekatan ideologis dan emosional untuk merebut simpati dari masyarakat. Kesimpulan Penyelenggaraan pemilu di Indonesia memiliki peranan krusial dalam mendukung prinsip demokrasi. Pemilu dianggap sebagai sarana sirkulasi kekuasaan, pemindahan konflik kepentingan rakyat, dan mobilisasi suara untuk mendukung pemerintah. Untuk mencapai idealisme tersebut, pentingnya melibatkan prinsip bebas, jujur, dan adil dalam pelaksanaan pemilu.Â
Bawaslu, sebagai lembaga pengawas pemilu, memiliki peran penting dalam mencegah dan menindak pelanggaran pemilu. Fokus pada pencegahan dianggap krusial untuk menghindari eskalasi pelanggaran yang masif. Melibatkan mitra kerja seperti organisasi masyarakat, institusi pendidikan, dan lembaga swadaya masyarakat dianggap sebagai strategi untuk memperluas pengawasan dan pencegahan. Politik uang menjadi permasalahan serius dalam pemilu Indonesia, terutama karena memicu praktik korupsi dan menunjukkan kecacatan dalam sistem demokrasi. Fenomena ini didorong oleh pandangan masyarakat terhadap pemilu sebagai "pesta demokrasi" yang identik dengan hadiah. Politik uang dapat dibagi menjadi empat spektrum, di antaranya praktik antar elite ekonomi, transaksional antara calon dan partai politik, dengan pihak yang menghitung suara, dan yang paling umum, praktik antara calon dan massa pemilih. Kasus konkret di Kota Bandung mengenai dugaan pelanggaran politik uang menunjukkan upaya Bawaslu untuk menindaklanjuti dan mencegahnya.Â
Namun, kompleksitas politik uang membuat penindakan sulit dilakukan, terutama karena Bawaslu memiliki keterbatasan wewenang jika pelanggaran tidak dikategorikan sebagai administratif. Terakhir, praktik politik uang tercermin dari budaya patron-klien, yang sebagian besar terjadi karena lemahnya partai politik berbasis ideologis di Indonesia. Partai politik cenderung pragmatis, gagal membangun branding ideologis, dan membiarkan oknum-oknum melakukan praktik politik uang tanpa hambatan.Â
Kesimpulannya, pemilu di Indonesia diwarnai oleh tantangan serius terkait politik uang dan memerlukan upaya nyata untuk memperkuat prinsip-prinsip demokrasi. Daftar Pustaka Trantidis, A. (2016). Clientelism and Economic Policy. Routledge. Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Budiardjo, M. (2007). Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Muhtadi, B. (2019). Vote Buying in Indonesia : The Mechanics of Electoral Bribery. Springer Singapore. Kitschelt, H. (2010). Patrons, clients, and policies : patterns of democratic accountability and political competition. Cambridge University Press. Muzahirin, M. (2018). Kedudukan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Dalam Sistem Peradilan Administrasi Pemilihan Umum. Melayunesia Law, 2(2), 211. https://doi.org/10.30652/ml.v2i2.6239 Santoso, T. (2017). PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PEMILU DI INDONESIA. Jurnal Hukum & Pembangunan, 33(2), 268. https://doi.org/10.21143/jhp.vol33.no2.1390
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H