Ditambah beberapa tahun belakangan ini sangat viral dengan apa yang dinamakan "serangan fajar". Alih-alih peserta pemilu tidak ingin mereka menjadi terduga kasus pelanggaran oleh Bawaslu, mereka memainkan praktik serangan fajar ini dengan mendatangi rumah-rumah warga tepat di hari pencoblosannya itu berlangsung.Â
Kedatangan mereka ini tentunya bukan tanpa alasan dan identifikasi yang mendalam, berdasarkan apa yang dijelaskan oleh salah satu komisioner Bawaslu Kota Bandung, para calon anggota eksekutif maupun legislatif bersama tim kampanyenya biasanya mendatangi rumahrumah warga yang masih menjadi variabel bebas atau dinyatakan bukan sebagai simpatisan salah satu partai atau calon tertentu. Terlebih, tingkatan ekonomi warga yang didatangi juga rata-rata kelas bawah yang mudah dipengaruhi dengan uang atau materi lainnya yang menguntungkan. Pada prinsipnya, praktik politik uang masih menjadi bagian dari fenomena klientelisme atau budaya patron-klien (Trantidis, 2016).Â
Fenomena patron-klien didefinisikan dengan menyebut kelompok yang memiliki keistimewaan tertentu (patrons) memberikan keuntungan yang dapat berupa uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada pendukungnya yang loyal (clients) (Muhtadi, 2013). Fenomena patron-klien ternyata berkaitan dengan lemahnya partai yang berjalan dengan basis ideologis di Indonesia. Pada kenyataannya, dewasa kini memang banyak sekali ditemukan kalau partai politik di Indonesia cenderung berjalan pragmatis.Â
Nilai-nilai yang dicantumkan dalam AD/ART partai seakan menjadi formalitas semata untuk memenuhi persyaratan administrasi. Kelemehan ini yang dijadikan ruang oleh para oknum yang gemar melakukan praktik politik uang agar mereka dapat lebih leluasa dan menjadikan ini semua seakan lumrah terjadi (Kitschelt, 2010).Â
Secara singkat, partai politik di Indonesia telah gagal membangun branding dengan melakukan pendekatan ideologis dan emosional untuk merebut simpati dari masyarakat. Kesimpulan Penyelenggaraan pemilu di Indonesia memiliki peranan krusial dalam mendukung prinsip demokrasi. Pemilu dianggap sebagai sarana sirkulasi kekuasaan, pemindahan konflik kepentingan rakyat, dan mobilisasi suara untuk mendukung pemerintah. Untuk mencapai idealisme tersebut, pentingnya melibatkan prinsip bebas, jujur, dan adil dalam pelaksanaan pemilu.Â
Bawaslu, sebagai lembaga pengawas pemilu, memiliki peran penting dalam mencegah dan menindak pelanggaran pemilu. Fokus pada pencegahan dianggap krusial untuk menghindari eskalasi pelanggaran yang masif. Melibatkan mitra kerja seperti organisasi masyarakat, institusi pendidikan, dan lembaga swadaya masyarakat dianggap sebagai strategi untuk memperluas pengawasan dan pencegahan. Politik uang menjadi permasalahan serius dalam pemilu Indonesia, terutama karena memicu praktik korupsi dan menunjukkan kecacatan dalam sistem demokrasi. Fenomena ini didorong oleh pandangan masyarakat terhadap pemilu sebagai "pesta demokrasi" yang identik dengan hadiah. Politik uang dapat dibagi menjadi empat spektrum, di antaranya praktik antar elite ekonomi, transaksional antara calon dan partai politik, dengan pihak yang menghitung suara, dan yang paling umum, praktik antara calon dan massa pemilih. Kasus konkret di Kota Bandung mengenai dugaan pelanggaran politik uang menunjukkan upaya Bawaslu untuk menindaklanjuti dan mencegahnya.Â
Namun, kompleksitas politik uang membuat penindakan sulit dilakukan, terutama karena Bawaslu memiliki keterbatasan wewenang jika pelanggaran tidak dikategorikan sebagai administratif. Terakhir, praktik politik uang tercermin dari budaya patron-klien, yang sebagian besar terjadi karena lemahnya partai politik berbasis ideologis di Indonesia. Partai politik cenderung pragmatis, gagal membangun branding ideologis, dan membiarkan oknum-oknum melakukan praktik politik uang tanpa hambatan.Â
Kesimpulannya, pemilu di Indonesia diwarnai oleh tantangan serius terkait politik uang dan memerlukan upaya nyata untuk memperkuat prinsip-prinsip demokrasi. Daftar Pustaka Trantidis, A. (2016). Clientelism and Economic Policy. Routledge. Aspinall, E., & Berenschot, W. (2019). Democracy for Sale. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Budiardjo, M. (2007). Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Muhtadi, B. (2019). Vote Buying in Indonesia : The Mechanics of Electoral Bribery. Springer Singapore. Kitschelt, H. (2010). Patrons, clients, and policies : patterns of democratic accountability and political competition. Cambridge University Press. Muzahirin, M. (2018). Kedudukan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Dalam Sistem Peradilan Administrasi Pemilihan Umum. Melayunesia Law, 2(2), 211. https://doi.org/10.30652/ml.v2i2.6239 Santoso, T. (2017). PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PEMILU DI INDONESIA. Jurnal Hukum & Pembangunan, 33(2), 268. https://doi.org/10.21143/jhp.vol33.no2.1390
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H