Mohon tunggu...
Asita Suryanto
Asita Suryanto Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveler

Koresponden Kompas di Jatim (1983-1986) Wartawan Tabloid Nova (1986- 1989) Peneliti Litbang Kompas (1990-2002) Penulis buku travel (2010-sekarang)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Wae Rebo, Kampung di Atas Awan yang Memikat Hati

17 Mei 2023   16:37 Diperbarui: 15 Juni 2023   04:40 1448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
menghirup udara pagi di wae rebo sangat bersih (Dokumentasi Asita)

Mendapat kesempatan ke Pulau Flores, NTT apabila badan masih sehat untuk berjalan di jalan setapak dan trekking naik turun lembah ke Kampung Wae Rebo wajib dikunjungi. 

Sebagai salah satu desa di atas awan wisata Indonesia, menjadi tujuan wisata utama yang wajib dikunjungi selama di Flores selain berkunjung ke Pulau Komodo dan ke Danau Kelimutu.

Kampung Wae Rebo merupakan sebuah kampung adat yang pernah mendapatkan penghargaan dari UNESCO karena rumah tradisional Mbaru Niang, di Wae Rebo sangat menjaga kelestarian adat budayanya. Liburan sangat asyik bersama teman-teman atau keluarga kalau bisa bareng trekking ke sini.

Wae Rebo yang terkenal dengan tempat wisata kampung adat di atas awan sudah lama ingin saya datangi. Selama ini selalu mendapat informasi kalau jalan ke sana harus siap fisik karena jalannya perlu waktu tempuh empat jam sepanjang 9 kilometer.

Saya berdua bersama teman sesama backpacker, Mbak Ria melakukan perjalanan dengan berjalan kaki selama 4 jam karena banyak waktu istirahat setiap seperempat jam berjalan dengan banyak berhenti untuk mengambil nafas panjang.

Suasana dalam rumah adat Wae Rebo (Dokumentasi Asita)
Suasana dalam rumah adat Wae Rebo (Dokumentasi Asita)

Untung guide sekaligus porter barang Pak Alex, sangat sabar menanti emak-emak yang sering berhenti untuk beristirahat selama perjalanan trekking ke Wae Rebo.

Untuk mencari guide di Desa Denge, yaitu desa terakhir untuk tempat parkir mobil dan motor kita bisa bertanya kepada masyarakat siapa saja yang bisa antar ke Kampung Wae Rebo. Karena syarat untuk turis masuk Waerebo harus diantar guide sekaligus porter lokal. 

Saya bisa merekomendasikan Pak Alex karena orangnya ramah, ringan tangan, dan kuat membawa barang-barang wisatawan.

Sepanjang perjalanan Pak Alex tidak membuat terburu-buru mengikuti alur jalan saya yang memang harus pelan-pelan berjalan di jalur setapak yang berkerikil dan sekali-sekali perlu melompati akar-akar pohon yang melintang. 

Meski kalau jalan sendiri Pak Alex bisa hanya cukup waktu satu jam, karena mengikuti saya dan teman Mbak ria yang jalannya pelan, jadinya Pak Alex ikut mengikuti ritme jalan kami sampai 4 jam juga. Orangnya juga asyik diajak ngobrol dan ramah. Sehingga perjalanan trekking hampir 4 jam tidak terasa karena sambil ngobrol dan istirahat melepas lelah.

Selama menginap di Wae Rebo, Pak Alex juga menjadi guide memberi penjelasan soal sejarah rumah adat Wae Rebo dan mendampingi tamunya selama makan sampai menjelang tidur.

pak Alex, guide dan porter yang ramah di Wae Rebo (Dokumentasi Asita)
pak Alex, guide dan porter yang ramah di Wae Rebo (Dokumentasi Asita)

Untuk menginap satu malam di rumah Mbaru Niang di salah satu rumah adat setiap orang dikenakan biaya Rp 325.000. Tetapi biaya itu sudah lengkap dengan makan tiga kali sehari dan suguhan kopi Wae Rebo yang amat enak. Makan dengan nasi, lauk sayur bening, telur dadar dan kerupuk sudah sangat enak rasanya. 

Saya yang jarang minum kopi merasakan sekali kopi Wae Rebo langsung ketagihan minum kopi beberapa cangkir karena enaknya.

Untuk keperluan tidur tersedia kasur single yang dipasang di lantai di dalam rumah khusus untuk tamu menginap di rumah adat Wae Rebo yang berbentuk kerucut juga. Hanya ruangan di sini tanpa sekat dan wisatawan tidurnya berbaur menjadi satu ruangan dengan orang lain.

Dari buku tamu yang saya lihat di sana, salah satunya pengunjung terbanyak datang dari Belanda dan wisatawan nusantara tentunya. Penduduk di Wae Rebo terkenal ramah kepada turis karena mereka sadar wisata dan menjamu tamunya dengan tulus.

Di waktu malam hari melihat di atas langit, bintang-bintang terasa dekat dan bersinar cerah. Di pagi hari terdengar ayam berkokok bersahutan dan kita bisa melihat kehidupan warga Wae Rebo yang sederhana.

Acara pagi hari, wisatawan bisa melihat kehidupan asli masyarakat Waerebo dan bisa bermain berlarian bersama anak-anak kecil Waerebo. Udara sangat bersih sangat nikmat rasanya menghirup udara paginya.

menghirup udara pagi di wae rebo sangat bersih (Dokumentasi Asita)
menghirup udara pagi di wae rebo sangat bersih (Dokumentasi Asita)

Kegiatan pagi bisa melihat ibu-ibu menjemur kopi, memberi makan ayam, melihat ibu-ibu memasak di tungku kayu dan kegiatan lain yang tidak bisa disaksikan di kota besar.

Di malam hari bisa menikmati bintang-bintang yang terang dan terasa dekat jaraknya dari Bumi Waerebo. Bagi pecinta fotografi planet dan bintang di sini tempat ideal untuk mengambil foto planet.

Di rumah adat Waerebo juga tersedia genset untuk listrik tapi dinyalakan hanya di malam hari saja. Sehingga dipastikan power telepon genggam terisi penuh selalu dan baterai kamera juga selalu penuh di malam hari.

Kampung Wae Rebo merupakan daerah dengan ketinggian 1125 mpdl terletak di Kabupaten Manggarai, Pulau Flores, NTT. Dengan populasi sekitar 42 kepala keluarga (kk), penduduk Wae Rebo menempati 7 rumah tradisional dengan komposisi 1 rumah utama (rumah gendang) yang ditempati 8 kepala keluarga dan 6 rumah pendukung yang ditempati 6 kepala keluarga.

kampung waerebo, kampung di atas awan (Dokumentasi Asita)
kampung waerebo, kampung di atas awan (Dokumentasi Asita)

Setiap ruangan disekat dengan dinding untuk tiap satu keluarga. Tetapi khusus untuk dapur menjadi satu tempat memasaknya dengan lima tungku perapian kayu. Khusus untuk penginapan turis, ada satu rumah Mbaru Niang yang tanpa sekat ruangan dan tersedia puluhan kasur untuk tidur bersama-sama di tengah ruangan yang sekaligus ruangan makan.

Saya menginap cukup satu hari di Waerebo dan besoknya setelah sarapan pagi sekitar pukul 10.00 kami berjalan kembali pulang ke Desa Denge. Perjalanan pulang lebih ringan dan santai karena jalur trekkingnya menurun dan kami sudah tahu situasi jalan setapak yang harus ditempuh. Cukup waktu 3 jam sudah sampai Kembali ke Desa Denge.

Bersama ini saya berikan tips cara ke Wae Rebo:

Akses kendaraan:

Melalui udara:

Ibu kota kabupaten yang paling dekat adalah Kota Ruteng sebagai ibu kota Manggarai yang memiliki Bandara Frans Sales Lega. Tiket pesawat dapat diakses untuk cek harga tiket pesawat dari Denpasar ke Ruteng atau dari Kupang ke Ruteng.

Melalui jalur darat:

Dari Kota Labuan Bajo bisa naik mobil travel ke Kota Ruteng sekitar Rp200.000. Dari Ruteng bisa naik ojek ke Desa Denge, desa terakhir sebelum berjalan kaki ke Wae Rebo sekitar Rp200.000. 

Ada juga mobil oto kayu dari Ruteng ke Desa Denge biaya Rp50.000 berangkat satu kali saja dari Ruteng pukul 09.00 di terminal oto kayu Ruteng.

Saya sendiri dari Ruteng ke Waerebo menyewa mobil carter jenis MPV menuju Desa Denge, yaitu desa terakhir menuju Waerebo dengan tarip Rp1,5 juta pulang pergi.

Waktu tempuh:

Dari Labuan Bajo hingga ke Denge (dengan menyewa mobil) antara 6-8 jam, sewa mobil sekitar Rp1,5 juta. Desa Denge merupakan desa terakhir sebelum Wae Rebo. 

Dari Ruteng ke Denge sekitar 3 jam. Dari Denge ke Wae Rebo sudah harus berjalan kaki di jalan setapak. Dalam waktu normal perjalanan dari Denge ke Wae Rebo dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 4-5 jam.

Jika Anda punya waktu 36 jam barulah bisa ke Wae Rebo. Secara total jika misalnya Anda mulai start perjalanan dari Labuan Bajo, dibutuhkan waktu kurang lebih 10 jam untuk bisa sampai di Desa Wae Rebo. Artinya apa? 

Jika Anda katakanlah berangkat pukul 06.00 Wita dari Labuan Bajo. Berarti sampai Wae Rebo pukul 16.00 Wita.

makan bersama dengan tamu lain (Dokumentasi Asita)
makan bersama dengan tamu lain (Dokumentasi Asita)

Tidur satu malam di rumah adat. Keesokan harinya pukul 09.00 Wita kembali jalan ke Desa Denge datang pukul 13.00 Wita. Kembali ke Ruteng datang pukul 16.00 Wita.

Mengingat waktu tempuh yang berjam-jam, maka ada baiknya mencadangkan waktu lebih untuk berkunjung ke Wae Rebo agar perjalanan lebih santai.

Penginapan

Mencari penginapan di Desa Denge apabila datang terlalu malam. Rumah home stay di Desa Denge di rumah Pak Blasius Monta. Ada juga homestay lainnya bisa ditanyakan ke penduduk Desa Denge. 

Jika Anda menyewa kamar di Denge sekaligus dapat menaruh barang-barang bawaan yang tidak terlalu penting saat trekking dari Denge menuju Wae Rebo agar lebih ringan beban di punggung.

Di Kampung Wae Rebo sendiri kita bisa menginap dengan biaya Rp 325.000 ribu per orang permalam. Kita akan menginap di rumah adat Mbaru Niang yang disediakan khusus untuk wisatawan.

Di belakang rumah ini juga sudah tersedia toilet dan kamar mandi yang lumayan bersih. Di kala malam hari ada juga penerangan listrik dari genset untuk keperluan charger telepon genggam, tapi sinyal operator telepon tidak ada disini. Di desa terdekat, Desa Denge dan Kota Ruteng hanya ada sinyal Telkomsel yang ada.

Jalur trekking

Perlu stamina fisik untuk melakukan trekking melewati bukit dan hutan. Trek menuju Wae Rebo mungkin bagi yang sudah terbiasa mendaki gunung tidaklah terlalu berat dan mengejutkan.

Jalur trekking lebih panjang melewati bukit dan hutan sepanjang 9 kilometer, harus dalam kondisi sehat. Perlu membawa bekal air, biskuit, permen, jas hujan, tisu basah dan kering selama trekking. Jangan musim hujan kesini karena jalan setapak sangat licin. Sepatu yang nyaman dipakai bisa sepatu gunung atau sepatu cat.

Upacara Waelu

Setiap tamu yang berkunjung ke Wae Rebo wajib melalui Upacara Waelu. Setelah wisatawan berjalan sejauh 9 kilometer, kita akan mendapatkan pos terakhir pos III berupa rumah panggung kayu yang ada kentongan.

Porter yang mengantar kita akan membunyikan kentongan. Itu berarti kode pemberitahuan ada tamu datang di Kampung Wae Rebo. Kepala adat di rumah Mbaru Niang bersiap-siap menyambut tamu yang baru datang dengan ucapan selamat datang. 

Sebelum upacara adat ini semua wisatawan dilarang mengambil foto di Kampung Adat Wae Rebo. Apabila melanggar dikhawatirkan ada halangan dan gangguan, minimal hasil foto rusak.

Biaya

Biaya inap semalam di rumah adat Mbaru Niang Rp 325.000. Ojek dari Kota Ruteng-Desa Denge Rp200.000=(Rp 400.000 pp). Porter yang mengantar dan mengangkut bawaan kita selama trekking Rp 250.000 (pp). Jadi total biaya minimal dari Ruteng ke Wae Rebo untuk satu orang dan satu malam sebesar Rp 975.000.

Apabila menyewa mobil dari Ruteng ke Desa Denge biaya Rp 1,5 juta pp, maka biaya menjadi Rp2.075.000.

(Catatan: porter bisa membawa barang untuk dua orang)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun