Melakukan perjalanan ke  Kampung Todo di Pulau Flores seakan menumpang mesin waktu ke masa silam. Saya mengunjungi  rumah-rumah tradisional atau Niang Todo yang  beratap ijuk, berlantai kayu dan bangunan berbentuk kerucut berdinding  ijuk  yang  sekaligus menyambung menjadi satu dengan atap rumahnya . Hanya keturunan Raja Todo  yang boleh menempati rumah kerucut tersebut dan diisi oleh beberapa keluarga yang hidupnya masih tradisonal dengan tidur di alas tikar, memasak dengan tungku kayu dan kehidupan berjalan dengan sistem tradisional. Berada di Kampung Todo seakan berada di dunia lain dan merasakan  tidak ada kehidupan modernÂ
Perjalanan dari pusat Kota Ruteng ke Kampung Todo  jalannnya meliuk-liuk dan sering berpapasan dengan truk yang jalannya sempit. Dari  Ruteng perlu waktu perjalanan dua jam untuk mencapai kampung adat ini.
Perjalanan ke  Ruteng di Pulau Flores saya lakukan dengan terlebih dahulu mendarat di Labuan Bajo dengan pesawat Garuda Indonesia.  Mencari  Tiket Pesawat Garuda jauh-jauh hari saya lakukan dengan pemesanan online  untuk penerbangan dari  Denpasar ke Labuan Bajo agar harga tiket sedikit miring. Dari Labuan Bajo ke Ruteng perlu waktu tiga jam dengan mobil travel.
Beliau langsung meminjamkan sarung khas Todo untuk dipakai masuk Niang Todo yang utama bernama "Niang Wowang ." Â Kampung tua yang memiliki halaman yang dikelilingi batu tersusun rapi merupakan asal muasal kerajaan Manggarai. Ada batu-batu dengan konstruksi melingkar yang terbuat dari batu . Masuk pintu rumah, harus membungkuk karena pintu rumah sengaja dibuat pendek dibentuk turun dari tangga batu dan di sekitar pintu masuk banyak dijumpai ukir-ukiran khas Flores.
Untuk menuju rumah Niang Todo dari kejauhan sudah kelihatan jalanan dan tangga berbatu di sekeliling rumah dan halamannya. Turis harus menaiki tangga batu dan berjalan setapak menuju pintu rumah.  Dari sana, jalan berbatu akan membawa Anda melewati satu set meriam Inggris tua, sebelum Anda melewati kuburan Raja Todo. Di halaman rumah karena sedang panas terik matahari, kelihatan beberapa wanita sedang menjemur butiran  padi dan kopi.
Di dalam rumah Niang Todo yang utama disimpan gendang kecil yang konon  terbuat dari kulit perut seorang gadis  yang dikenal dengan nama Loke Nggerang. Gendang yang konon dari kulit seorang putri ini disimpan dalam kotak kaca khusus yang ditutupi kain. Untuk melihat  gendang kulit manusia ini, seorang turis dikenakan syarat  pembayaran khusus sebesar Rp 100.000 per orang yang dimasukkan dalam kotak sumbangan adat.  Uang sumbangan itu nanti kalau sudah terkumpul banyak,  akan dibuka oleh ketua adat untuk keperluaan perawatan desa.
Loke berarti kulit dan Nggerang artinya kulit kemerah-merahan.Karena cantik dan indah kulit, maka sang gadis  ingin dipinang  oleh Raja Todo yang waktu itu merupakan penguasa bumi "Nuca Lale" (Nama asli Manggarai). Namun lantaran cinta akan kekasih dan orang tuanya, Loke  berani menolak dengan  keras  pinangan sang raja.
Hal ini membuat raja marah. Waktu  itu raja  mempunyai kekuasaan penuh atas  Raja Manggarai. Siapapun yang menolak perintah raja pasti akan menerima hukuman berat. Loke Nggerang  pun kemudian dihukum mati karena  menolak kemauan sang raja. Kulit dari  punggung dan perut Loke Nggerang kemudian dijadikan gendang.