Ketika pergi ke Maumare sempatkan mampir  ke  Sanggar Tenun Lepo Larun di Nita Kabupaten  Sikka. Jaraknya hanya sekitar  20 kilometer dari pusat Kota Maumere, Pulau Flores. Disini wisatawan bisa melihat langsung proses membuat tenun ikat secara alami.
Saya terharu melihat mama-mama dengan tekun sepanjang hidupnya mendedekasikan waktunya hanya untuk bekerja menenun. Mereka dengan spontanitas mendemontrasikan cara menenun dari awal sampai akhir. Kain tenun yang sudah siap dijual digelar  di sepanjang  pagar  agar terlihat apabila ada wisatawan datang.
Mula-mula adalah proses memisahkan kapas dari bijinya yang lalu digebuk-gebuk agar mudah dipintal, kemudian setelah menjadi benang harus melewati proses pencelupan alami memakai akar mengkudu atau daun indigo, membuat pola dengan mengikatnya memakai daung gebang lalu menenunnya hingga menjadi kain tenun ikat yang cantik.
Setidaknya ada lebih dari 20 tahapan selama berbulan-bulan agar sebuah kain tenunan Flores dapat dinikmati pemakainya dan siap dipasarkan. Proses pembuatan tenun ikat khas Flores diawali dengan memisahkan kapas dari biji, memintal kapas tersebut menjadi benang, proses pewarnaan, mengikat motif, dan terakhir baru mulai menenun. Ada alat khusus yang digunakan untuk memisahkan kapas dari bijinya termasuk untuk menggulung benang yang sudah dipintal.
Pewarnaan dapat dilakukan berulang-ulang guna menghasilkan warna yang khas. Â Setidaknya ada 11 warna tercipta dari bahan alami yang ramah lingkungan. Warna dari bahan alami dan benang dari kapas membuat warnanya memang tidak secerah benang modern tetapi justru lebih tahan lama dan menguak warna yang makin lama makin indah.
Setelah puas menari, saya melanjutkan perjalanan ke Desa Sikka. Untuk lebih memahami cara membuat kain tenun yang  indah khas Flores bisa berkunjung juga ke Desa Sikka yang jaraknya sekitar 50 kilometer dari Maumere. Bahan pembuat tenunnya didominasi dari alam sekitar. Masyarakat Desa Sikka sejak dahulu memiliki keahlian menenun kain tradisional dengan beragam corak warna.
Untuk motifnya, terdapat beberapa jenis yang khas berupa motif binatang laut. Mungkin karena nenek moyang etnis Sikka yang dulunya adalah pelaut ulung dan mereka menetap di pesisir sehingga mempengaruhi motif kain tenunnya. Tak heran motif, perahu, udang, atau kepiting menjadi ciri khas motif kain tenun Sikka.
Di Desa Sikka pemasaran kain tenun masih dengan cara tradisional. Apabila ada wisatawan datang, mama-mama pengrajin tenun akan datang beramai-ramai menggelar dagangannya dengan menggelar kainnya di atas sebatang bambu yang sudah disiapkan di dekat pantai Istana Bekas Kerajaan Sikka.
Bagi yang tidak berkocek tebal tapi tetap ingin punya souvenir tenun, sekarang mama-mama di Sikka sudah kreatif membuat selendang kecil sekitar Rp 100.000.
Ada ungkapan dalam bahasa Sikka: " Ami nulung lobe. Naha utang wawa buku ubeng. Naha utang merah blanu, blekot  " yang artinya kami tidak memakai sarung murahan, harus sarung dari dasar tempat simpan, harus sarung yang merah, mantap, dan bermutu.
Ungkapan itu mengandung pengertian, sarung yang dikenakan seorang perempuan menunjukkan kepribadian pemakainya. Sarung yang dipakai bukan sarung biasa. Ini menunjukkan pemakainya bukan sembarangan, melainkan orang berwibawa, bermutu, dan berkepribadian baik.
Kain tenun  Flores dibuat dengan cinta oleh mama-mama yang secara turun menurun tanpa pamrih bekerja menenun. Kain buatan tangan dengan puluhan motif yang bernilai seni tinggi dan indah ini tidak akan habis dilekang waktu. Meski dibutuhkan ketekunan dan kesabaran untuk menghasilkan sehelai kain tenun  di mana hampir semua proses pembuatan kain ikat tersebut dilakukan secara tradisional.
Sejak dulu kain tenun  telah digunakan sebagai pakaian sehari-hari masyarakat setempat sebagai simbol status, kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan bagi pemakainya. Belakangan simbol-simbol ini semakin memudar apalagi kini kain tenun sekarang sudah banyak dijual di luar Pulau Flores. Kain tenun sudah banyak di modifikasi menjadi jas, kemeja dan rok wanita dan sudah banyak dijual di pusat pertokoan di Jakarta.
Tetapi bagi  masyarakat Flores, kain tenun akan dipakai sejak lahir sampai mati. Ketika masih bayi digendong ibunya dengan kain tenun. Mengompol pun di kain tenun yang dipakai ibunya. Anak perempuan Flores  yang beranjak dewasa ditandai dengan datang bulan dan mereka diwajibkan mengenakan kain serta memanjangkan rambutnya agar dapat dikonde.
Saat mereka hendak menikah di pedesaan, mereka  harus bisa membuat kain  tenun sendiri untuk keperluan pernikahan atau untuk diberikan kepada calon mempelai pria sebagaimana aturan adat dahulu kala.
Seiring perkembangan zaman, setelah banyak wanita Flores mulai mengenyam pendidikan tinggi dan bersekolah ke luar Pulau Flores. Sepertinya budaya menenun sendiri kain tenun bagi remaja putri  sudah mulai pudar. Banyak remaja yang sudah tidak bisa  menenun kain secara tradisional lagi. Hal ini tentu menjadi salah satu tantangan bagi keberlangsungan produksi kain tenun Flores yang akan abadi selamanya. Ini menjadi tantangan bagi ibu-ibu di Flores untuk mengajari putri nya bisa menenun.
Minat kain tenun dengan pewarna alam sekarang sudah mulai disukai masyarakat meskipun harganya cukup mahal diatas satu juta rupiah. Tenun Flores telah menjadi suvenir yang paling diminati wisatawan bila pergi ke Flores ini terbukti teman-teman seperjalanan saya membeli banyak kain tenun selama melakukan perjalanan ke Flores.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H