Mohon tunggu...
Asita Suryanto
Asita Suryanto Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Traveler

Koresponden Kompas di Jatim (1983-1986) Wartawan Tabloid Nova (1986- 1989) Peneliti Litbang Kompas (1990-2002) Penulis buku travel (2010-sekarang)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jangan Pergi Liburan Tahun Baru ke Gunung Bromo!

31 Desember 2017   18:30 Diperbarui: 1 Januari 2018   20:20 4949
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Batok di sebelah Gunung Bromo ketika mendung dan badai pasir (dok asita)

Tahun Baru yang gagal di Gunung Bromo. Ini cerita saya ketika malam tahun baru 2017. Setahun lalu saya ingin melihat matahari terbit atau sunrise di Gunung Bromo. Impian ingin melihat pemandangan indah sunrise muncul di balik Gunung Bromo sirna sudah. Karena matahari tertutup awan dan wisatawan yang datang semua di Penanjakan titik poin, untuk melihat sunrise langsung kecewa. Jadi perjalanan saya menjadi traveler tidak selamanya indah. Ada juga pengalaman pahit yang tidak bisa dihindari karena faktor alam dan cuaca.

Badai pasir di Gunung Bromo jarak pandang pendek (dok asita)
Badai pasir di Gunung Bromo jarak pandang pendek (dok asita)
Saya sarankan jangan pergi liburan tahun baru di Gunung Bromo. Menurut sopir jip yang mengantar saya ke Penanjakan memang sudah dua minggu matahari terbit tidak muncul selama bulan Desember 2016. Selain itu bulan Desember juga sering hujan di lautan pasir Bromo. Dia menyarankan kalau datang lagi ke Gunung Bromo sebaiknya bulan Mei dan Juni saja. Selain matahari terbit pasti muncul, juga wisatawan tidak terlalu banyak.

Matahari terbit yang gagal di Gunung Bromo (dok asita)
Matahari terbit yang gagal di Gunung Bromo (dok asita)
Ketika tahun baru di Gunung Bromo yang pasti semua jalur ke Penanjakan macet total. Harusnya kita bisa dijemput jam 03.00 WIB tapi karena tahun baru, sopir jip meminta lebih siap pukul 02.00 WIB untuk dijemput. Karena hampir semua ratusan armada jip yang ada di Bromo disewa semua oleh wisatawan. Juga jalur antara Probolinggo ke Desa Ngadisari, desa terakhir sebelum ke Gunung Bromo yang harusnya bisa ditempuh dua jam bisa menjadi enam jam karena macet.

Kemacetan di jalur Pananjakan ketika tahun baru (dok asita)
Kemacetan di jalur Pananjakan ketika tahun baru (dok asita)
Kemudian harga sewa hotel dan homestay jadi mahal. Di hari biasa hotel bintang tiga sekitar Rp 400.000 per malam, pas malam tahun baru menjadi Rp 800.000. Belum lagi homestay sederhana yang di hari biasa Rp 150.000 menjadi Rp 400.000.

Bukan hanya tidak mendapat sunrise saya juga mendapat rejeki badai pasir. Ketika turun dari Penanjakan, dari lautan pasir saya ingin naik kuda ke puncak Gunung Bromo. Tarif sewa kuda yang harusnya Rp 100.000 menjadi Rp 150.000 di malam tahun baru. Selama naik Gunung Bromo saya tidak mendapat pemandangan yang bagus sama sekali. Karena sekitar pukul 08.00 WIB waktu itu sedang ada badai pasir. Sehingga debu berterbangan dengan tebal dan tidak dapat melihat puncak Gunung Bromo dan Gunung Batok secara utuh karena tertutup awan dan debu tebal. Juga selama naik kuda jarak pandang saya hanya lima meter karena pasir berterbangan.

Badai pasir membuat pasir berterbangan dan mendung (dok asita)
Badai pasir membuat pasir berterbangan dan mendung (dok asita)
Pasir berterbangan, masih beruntung saya memakai kaca mata. Kalau tidak memakai kacamata pasti matanya kelilipan. Para pedagang yang biasa tiap hari berjualan di kaki Gunung Bromo juga tidak bisa membuka lapaknya. Barang yang diatur di atas meja berterbangan. Jadi mereka memilih membungkus dagangannya.

Badai pasir (dok asita)
Badai pasir (dok asita)
Saran saya bagi pemula yang ingin melihat sunrise di Gunung Bromo datanglah pada bulan Mei dan Juni. Dan titik poin yang paling bagus melihat sunrise dari Pananjakan. Karena ketinggiannya yang mencapai 2770 mdpl atau lebih tinggi dari Gunung Bromo yang memiliki ketinggian 2329 mdpl.

Puncak Gunung tertutup awan tebal (dok asita)
Puncak Gunung tertutup awan tebal (dok asita)
Jadi tahun baru saya di Gunung Bromo tahun lalu jangan ditiru jejaknya. Beruntung saya bersama anak Dimas, untuk ketiga kalinya datang ke Gunung Bromo. Dan dua kali sebelumnya mendapat matahari terbit yang bagus. Ke Gunung Bromo wajib memakai jaket, syal, kacamata, kupluk penahan angin di telinga, sepatu cat dan jas hujan. Karena saya masih melihat ada beberapa orang wisatawan yang tidak siap jaket dan topi. Sehingga memilih turun lebih cepat masuk ke mobil ketika menunggu sunrise karena angin di Penanjakan sangat kencang.

Pedagang makanan tidak bisa berjualan karena badai pasir (dok asita)
Pedagang makanan tidak bisa berjualan karena badai pasir (dok asita)
Dari Jakarta ke Gunung Bromo bisa melalui Kota Malang atau Surabaya dengan pesawat terbang atau kereta api. Dari kedua kota itu bisa naik bus AC antar kota ke Probolinggo dengan tarif Rp 40.000. Kemudian naik angkutan desa dari depan Terminal Bus Probolinggo ke Desa Ngadisari dengan ongkos Rp 50.000. Sampai Desa Ngadisari banyak homestay dengan tarip Rp 150.000 dan sharing sewa jip ke Penanjakan Rp 150.000 pulang pergi dijemput di hotel dengan membayar tanda jadi semalam sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun