Setia kepada pasangan harus setia menerima keadaan sedih-gembira, setia menghadapi cobaan bersama, setia sehidup semati. Bicara soal kesetiaan, ternyata ada yang lebih dasyat dibanding manusia. Dia adalah kera Owa Jawa, atau  dalam bahasa latin disebut  Hylobates Moloch . Owa Jawa bersifat monogami tidak bisa melakukan poligami maupun poliandri  sehingga hanya kematian yang bisa memisahkan pasangan Owa Jawa pejantan dan betinanya.
Apabila ada pasangan atau anak-anaknya Owa Jawa yang mati atau  hilang  karena perburuan dan perdagangan liar, sifat monogami  itu cukup menyulitkan proses pelepasliaran dan upaya peningkatan populasi Owa Jawa. Karena Owa Jawa akan mudah stres, sakit  dan berujung pada kematian.  Owa Jawa tidak  bisa dikawinkan lagi  setelah pasangannya hilang, meninggal atau terbunuh.
Ini adalah sifat dari khas hewan dari Owa Jawa yang bentuknya badannya mungil, tidak berekor, bulunya berwarna keabuan dan di sekitar wajahnya tumbuh bulu berwarna keperakan dengan wajah kehitaman dan mata bulat melotot. Mempunyai sifat setia, selektif  memilih pasangan, juga cepat stres  lalu meninggal  jika ada anggota keluarga yang hilang. Ini  menjadi salah satu penyebab Owa Jawa  terancam punah.
Karena hal tersebut sejak tahun 2003 Pertamina EP Subang Field berkerja sama dengan Javan Gibbon Center (Yayasan Owa Jawa)  mensuport Pusat Rehabilitasi Owa Jawa di Bodogol Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tujuan program ini didirikan untuk merehabilitasi Owa Jawa yang berasal dari masyarakat  dan meningkatkan kesadaran akan peran serta masyarakat  tentang pentingnya pelestarian Owa Jawa.
Pertamina mendukung upaya rehabilitasi dan pelepasliaran Owa Jawa ke habitat aslinya. Dana yang dikucurkan untuk rehabilitasi Owa Jawa dari Pertamina sebesar Rp 500 juta per tahun. Karena satu individu Owa Jawa sendiri untuk biaya makan dan perawatan kesehatannya dibutuhkan dana Rp 1,5 juta per bulan. Jadi biaya perawatannya melebihi anggaran manusia dengan menu warung tegal.
Menurut Pristi, seperti halnya manusia, Owa Jawa hidup berkeluarga, tinggal dalam suatu rumah atau teritorial.Setiap keluarga Owa Jawa juga bertetangga dengan keluarga lain yang mendiami teritorial lainnya. Uniknya, sesama keluarga, mereka tidak saling mengganggu. Bahkan antar keluarga, mereka memiliki kawasan khusus non-teritorial. Kawasan khusus ini bisa digunakan bersama secara bergantian antar keluarga. Kawasan ini biasanya berisi berbagai bahan makanan yang dibutuhkan keluarga Owa Jawa. Sang induk bertugas merawat anaknya dan sang pejantan bertugas mencari makan buat anak-anaknya dan menjaga keluarganya dari serangan musuh, seperti halnya kehidupan manusia. Karena hal tersebut pelepasliaran Owa Jawa bukan satu individu tapi menunggu satu keluarga siap dilepas ke habitat aslinya.
Keberadaan kera Owa Jawa yang hampir punah di Pulau Jawa membuat prihatin para pecinta lingkungan hidup. Diperkirakan Owa Jawa populasinya kurang dari 2.500 sampai 4.000 individu. Angka tersebut sepintas besar, namun satuan terkecil Owa Jawa bukanlah individu melainkan satu keluarga. Dalam satu keluarga Owa Jawa terdapat tiga hingga lima individu yang terdiri sepasang induk serta dua hingga tiga anak.
Kemudian induknya dibunuh, anaknya diambil diperdagangkan, yang tersisa itu bisa salah satu pejantan atau betinanya. Karena  ikatan keluarganya itu kuat, salah satu dari mereka itu diambil atau terganggu stres maka semua keluarga itu akan berpengaruh yang disusul dengan kematian. Sifat monogami itu juga yang menyulitkan proses pelepasliaran dan upaya peningkatan populasi Owa Jawa.
Di Pusat Rehabilitasi Owa Jawa, kera pejantan dan betina setelah cukup umur sekitar delapan tahun untuk dikawinkan akan ditempatkan di dalam satu kandang sampai memiliki anak.Setelah membentuk satu keluarga dengan anak yang sudah bisa mandiri lepas dari induknya untuk mencari makan, barulah keluarga Owa Jawa ini bisa  melewati proses habituasi di lokasi pelepasliaran di Gunung Puntang, Hutan Lindung Gunung Malabar daerah Bandung Selatan di Jabar.
Mengapa Gunung Puntang yang dipilih. Karena habitat asli Owa Jawa  terbesar  di  Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sudah liar dan sering mengganggu keluarga Owa Jawa yang baru direhabilitasi. Sedangkan habitat Owa Jawa di Gunung Puntang lebih jinak dan menerima dengan baik Owa Jawa yang baru dilepas di habitat aslinya. Selain itu  Owa Jawa perlu diberikan perlindungan dan pemantauan.
Kera Owa Jawa yang direhabilitasi berasal dari  sitaan pihak berwajib, pedagang satwa liar , kasus penyelundupan satwa yang gagal,  dan hasil suka rela dari masyarakat yang menyerahkan langsung  hasil temuan Owa Jawa ke Yayasan Owa Jawa.
Rata-rata Owa Jawa betina melahirkan sekali setiap tiga tahun, dengan masa mengandung selama 7 bulan. Anak-anaknya disusui hingga usia 18 bulan, dan terus bersama keluarganya sampai dewasa, yang dicapainya pada umur sekitar 8 tahun. Owa Jawa kemudian akan memisahkan diri dan mencari pasangannya sendiri.
Karena keunikannya,Owa Jawa yang wajahnya lucu sangat menarik untuk dipelihara karena bisa dirawat seperti  bayi manusia. Maka  kera ini menjadi salah satu satwa eksotik yang banyak diburu oleh manusia tidak bertanggungjawab, untuk kemudian diperjual-belikan di pasar  ilegal. Kadang upaya penyelundupan pun kerap terjadi, sehingga ada pula Owa Jawa yang direhabilitasi  hasil barang sitaan yang gagal akan diselundupkan  ke Kuwait. Padahal status Owa Jawa jelas sebagai satwa yang dilindungi. Tindakan hukum perlu dilakukan bagi pelaku pemusnahan habitat Owa Jawa.Maka mari hentikan perdagangan satwa liar dengan tidak membeli atau memelihara mereka. Jika menemukan ada yang memelihara maka laporkankanlah segera pada Yayasan Owa Jawa secara langsung atau menghubungi FB Javan Gibbon Center.
Dalam perjalanan dua hari itu, selain mengunjungi Owa Jawa,  Pertamina bersama Kompasiana juga mengajak para Kompasianer mengunjungi Pusat Pendidikan Konservasi Alam Taman Nasional Bodogol Gunung Gede Pangrango. Disini saya mendapat  pendidikan tentang flora, fauna , penyelamatan dan monitoring Owa Jawa di habitat aslinya. Dengan mengikuti acara Kompasiana Visit bisa melihat  keanekaan ragam hayati dan ekowisata lingkungan hidup. Dan yang paling seru di hari kedua, Kompasioner diajak rafting yang menegangkan di Caringin, Bogor. Dua hari yang mengesankan bersama Kompasiana Visit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H