“Orangtua sebaiknya juga mengenali paedofil di sekitar anak.Waspadai di lingkungan tempat tinggal hingga sekolah anak,” tambah Sri Astuti.
Sedangkan psikolog Vitria Lazzarini dari Yayasan Pulih, dalam acara tersebut mengatakan, kekerasan seksual bisa menyebabkan anak mengalami trauma psikologis jangka panjang. Bahayanya, anak juga akan berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual pada saat dewasa. Untuk itu, anak yang menjadi korban kekerasan seksual harus segera diterapi.Orangtua harus lebih peka mengenali ciri-ciri anak yang mengalami kekerasan seksual.
![Dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/12/14/asita2-5850f662c323bdb03794b895.jpg?t=o&v=555)
Menjadi korban kekerasan seksual merupakan peristiwa yang sangat membekas bagi anak. Anak akan menunjukkan tanda-tanda telah mengalami kekerasan seksual yang terkadang tidak disadari orangtua.
Untuk itu, sangat penting membawa anak yang menjadi korban kekerasan seksual ke psikiater anak dan remaja."Jadi anak yang menjadi korban harus menjalani terapi," kata Vitria dengan mata berkaca-kaca menceritakan pengalamannya mendampingi kasus pelecehan seksual ada anak.
Dengan berbagai kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi dalam kurun waktu 5 tahun belakangan ini, tidaklah berlebihan jika Indonesia saat ini berada pada posisi darurat kekerasan terhadap anak. Dari 21.689.987 kasus pelanggaran anak yang dimonitor Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di 33 provinsi dan di 202 LPA kabupaten dan kota, 58% dari pelanggaran hak anak yang dimonitori itu didominasi kekerasan seksual. Oleh karena itu, tidak berlebihan pula jika Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) sebagai lembaga independen di bidang promosi, penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan anak di Indonesia patut menyerukan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk segera bangkit 'perang' memutus mata rantai kekerasan terhadap anak.
![Dokumentasi pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/12/14/asita1-5850f6a54b7a61f7111d177b.jpg?t=o&v=555)
Demikian juga di 2014, jumlah pengaduan terus meningkat tajam menjadi 4.654 kasus, 52% di antaranya kekerasan seksual. Dan di 2015, 59,30% juga didominasi kasus kekerasan seksual, selebihnya (40,70%) kekerasan fisik, penelantaran, penganiayaan, pemerkosaan, adopsi ilegal, penculikan, perdagangan anak untuk eksploitasi seksual, ekonomi, tawuran, dan kasus narkoba. Dari hasil monitoring itu juga dilaporkan, 62% kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan tempat tinggal anak dan sekolah. Selebihnya (38%) terjadi di ruang publik, seperti tempat bermain, panti asuhan atau pondok-pondok, serta pusat perbelanjaan bahkan di ruang terbuka hijau.(sumber: http://www.mediaindonesia.com/index.php/news/read/28188/kejahatan-luar-biasa-terhadap-anak/2016-02-11#sthash.lUH22zAD.dpuf)
Menurut pengamatan penulis, terapi menjadi salah satu cara untuk memutus mata rantai kekerasan seksual pada anak. Untuk itu, dalam kasus kejahatan seksual jangan hanya fokus pada pelaku, tetapi juga korban yang masih memiliki perjalanan panjang dalam hidupnya.
Masyarakat, terutama perempuan dan anak yang rentan menjadi korban kekerasan, sudah selayaknya mendapatkan edukasi untuk melindungi dirinya sendiri dari tindak kekerasan.
Acara KPPPA bersama Kompasiana ini mengajak Kompasianer dan berbagai elemen masyarakat untuk berbincang bersama, mengetahui tindakan ideal jika terjadi kekerasan terhadap perempuan dan anak di sekitar kita, serta membagikan menghindari pemaparan peristiwa pemerkosaan secara rinci di media sosial, dan berani melaporkan tindak kekerasan adalah beberapa cara yang dapat membantu mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.