[caption id="attachment_319427" align="aligncenter" width="638" caption="Admin/Ilustrasi/KOMPAS IMAGES(KRISTIANTO PURNOMO)"][/caption]
Imlek memang tahun baru Cina. Tapi kalimat “gong xi fa cai”, yang banyak terdengar selama Imlek yang tahun ini jatuh pada Jumat, 31 Januari 2014 bukan berarti “selamat tahun baru” . Tahun baru yang diawali dengan musim semi, tahun yang penuh harapan. Setelah sekian lama berada dalam kedinginan dan salju musim dingin maka merupakan hal yang indah menapak harapan baru. Pohon-pohon gundul mulai menumbuhkan daun-daunnya yang pertama, melambangkan berseminya kembali semangat kehidupan. Matahari kembali memancarkan sinarnya.
Pada malam tahun baru itu, seperti juga pada berbagai peringatan tahun baru yang lain, seluruh keluarga akan berkumpul sampai tengah malam menunggu pukul 24.00 WIB untuk merayakan malam pergantian tahun.
"Gong Xi Fa Cai", ucapan yang selalu terdengar untuk saling menukar salam dengan memberikan harapan. "Gong Xi Fa Cai" diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi "semoga sejahtera". Sejahtera memang merupakan suatu keinginan yang didambakan oleh seluruh umat manusia siapa pun yang berada di muka bumi ini selama menjalani hidup. Kadang tulisan “gong xi fa cai” ditulis dengan cara lain karena beda ejaan dan dialek. Misalnya saja “keong hee huat chie” (Hokkien), “kung hei fat choi” (Kanton atau Hongkong), atau “kung hei fat choi” (Hakka). Sebagai perbandingan, kata “kungfu” yang biasa di kenal di Indonesia, dalam ejaan resmi dalam bahasa Mandarin menjadi “Gongfu”. Jangan ucapkanGong Xi Fa Caisaat Imlek karena ternyata ungkapan tersebut adalah ucapan yang salah untuk mengucapkan selamat tahun baru China. KarenaGong Xi Fa Caisebenarnya bermakna selamat kaya raya. Ungkapan yang pas bagi orang Tionghoa saat hari raya Imlek adalah Sing Cung Kyi Hi, yang berarti selamat merayakan musim semi baru.
Penting bagi orang Tionghoa untuk introspeksi diri agar perayaan Imlek dikembalikan pada arti yang sesungguhnya yakni historisitas perayaan Imlek, terlebih dalam perayaan acara kekeluargaan, untuk meminimalisir diskriminasi terhadap warga Tionghoa, sangatlah bergantung kepada pemerintah dalam mengelola konsep nasionalisme. Konsep nasionalisme ini masih menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menyatukan berbagai ragam etnis, suku dan lain sebagainya demi cita-cita kemajuan Indonesia. Suatu kesadaran yang memang harus terus dibangun bahwa warga Tionghoa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tak dipungkiri lagi bahwa warga Tionghoa juga turut berjuang merebut kemerdekaan, dan semenjak saat itu bersama-sama membangun negeri ini. Mereka bukan orang asing, melainkan saudara sebangsa yang sama seperti suku lainnya yang ada di negeri ini. Budaya memberi dalam bentuk angpao berwarna merah memeriahkan suasana yang kemudian kertas merah ini digantung di pohon angpao (yin liu).Lima belas hari dalam suasana berbahagia sampai ke-15 Imlek (cap go me) juga dirayakan memaknai spiritualitas dan ritualitas hari esok yang diharapkan lebih baik. Gambar dewa uang si pembawa rezeki selalu disucikan. Dilakukan aksi bersih-bersih di tempat ibadah maupun rumah, agar murah rezeki dan keberuntungan usaha. Ramalan peruntungan di tahun 2009 melalui sio kelahiran memberikan makna tersendiri agar hidup semakin hati-hati. Seperti ditulis koran Daily Express, yang sebagian besar pembacanya puak Cina di Sabah, Malaysia, “gong xi fa cai” itu berarti “selamat dan semoga sejahtera”. Kadang tulisan “gong xi fa cai” ditulis dengan cara lain karena beda ejaan dan dialek. Misalnya saja “keong hee huat chie” (Hokkien), “kung hei fat choi” (Kanton atau Hongkong), atau “kung hei fat choi” (Hakka). Meski tulisannya tampak jauh dari dialek lain, tapi cara membaca “Gong Xi Fa Cai” tidak jauh berbeda dengan yang lain yakni: “kung shi fa tsai”. Ini karena huruf “g” di ejaan resmi itu dibaca “k”, “x” dibaca “sh”, dan “c” dibaca “ts”. Sebagai perbandingan, kata “kungfu” yang biasa di kenal di Indonesia, dalam ejaan resmi Mandarin menjadi “Gongfu”. “Gong xi fa cai” itu menggunakan bahasa Mandarin dengan Hanyu Pinyin, ejaan huruf Latin yang dipakai resmi di Cina, Taiwan, dan Singapura. Sedang dialek lain menggunakan ejaan tidak resmi Wade-Giles. Untuk anak-anak, ucapan yang digunakan lebih panjang lagi. Mereka akan mengatakan “gong xi fa cai, hong bao na lai” (kung shi fa tsai, ang pao na lai) yang berarti “selamat dan sejahtera, bawakan saya ang pao”. Bagi anak-anak Tionghoa, Imlek itu seperti Lebaran, saatnya mengumpulkan angpao. Ucapan “gong xi fa cai” saling dipertukarkan saat Imlek sejak ribuah tahun yang lalu. Ingat saja, penanggalan Cina sekarang sudah berusia 26 abad, lebih tua enam abad dibanding penanggalan Masehi. Pada malam imlek para warga etnis Cina bersembahyang, mendoakan agar besoknya hari hujan, karena hujan membawa kehidupan dan keberkahan alam dan seisinya. Tanglong berwarna merah atau lampion berbagai bentuk menjadi lentera tipikal yang selalu juga lantera ini dihiasi dengan huruf China kemudian digantung sebagai tanda keberuntungan (hoki). Di mana-mana Tua Pekong berbenah merayakan tahun baru Imlek 2560 (26 Januari 2009). Membangun spiritualitas diri ditandai pula dengan pembakaran hio kerbau raksasa misalnya di Klenteng Tua Pek Kong Windsor. Permainan barongsai diikuti dengan musik oriental. Di semua plaza dan mall Jakarta dua minggu terakhir ini dihiasi dengan hiasan, ornamen dan gapura warna merah bentuk naga atau arsitek Cina menyambut Imlek. Semua baju di etalase diganti warna merah menyala tanda imlek akan dimulai. Terhitung mulai Februari 2014 sampai dengan 4 Februari 2015 (Imlek) sebagai tahun Kuda Kayu Yang (untuk meramal nasib)。Angka Langitnya Kayu Besar (Cia), Angka Buminya Kuda (Uh), maka perpaduan disebut Kuda Pasir Emas, berarti anak yang dilahirkan di tahun ini disebut Kuda Pasir Emas. (Asita DK Suryanto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya