Mohon tunggu...
Sasakala Asisi Suharianto
Sasakala Asisi Suharianto Mohon Tunggu... Penulis - Traveller

Pelintas

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit

17 Agustus 2015   15:26 Diperbarui: 17 Agustus 2015   15:41 3772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Itu bukanlah ungkapan biasa, itu apologia. Acara ini dihadiri sejumlah budayawan, sebut saja diantaranya Bapak Agus Sunyoto dan Bapak Joko Koentono, yang memiliki kekritisan luar biasa. Para budayawan ini, dalam satu sisi melengkapi apa yang diriset oleh Lydia Kieven, sementara di sini lain juga mengkritisi betapa kurang langkapnya riset tersebut, sehingga acara berlangsung makin menarik. Budayawan Agus Sunyoto dalam salah satu presentasinya menegaskan adanya agama asli yang dimiliki oleh nenek moyang kita, yang kukuh, sehingga mampu mengalkulturasi budaya/agama asing yang melakukan penetrasi di tanah air. Hasilnya, munculnya fenomena panji, yang menurutnya, sepenuhnya bukan Hindu Budha. Dengan lincah sang budayawan menarik benang merah pemikiran ini ke dalam fenomena yang sedang trend saat ini, yakni Islam Nusantara.

Kelokalan-kelokalan ini sebagai bentuk perlawanan pada hegemoni asing. Meskipun pengaruh India dengan Hindu Budhanya mencengkeram kalangan istana, toh rakyat masih mampu menangkisnya dengan daya akulturasinya, dan inilah embrio panji, sebagai hasil pergulatan politik kala itu. Budayawan Joko Koentoro memberi ketegasan tanpa kompromi: “Ingat, di Nusantara, agama dan politik tidak bisa diotak-atik, tapi budaya dan teknologi masih mampu diotak-atik.” Melalui budayalah arus perlawanan itu bergerak.

[caption caption="PARA BUDAYAWAN. Dari kiri ke kanan: penulis, anggota komunitas Pandu Pusaka, Lydia Kieven, seorang pendeta, DR Agus Sunyoto, dan budayawan Joko Koentoro (Kredit foto: Tjahyana Indra Kusuma)"]

[/caption]

 

ANTARA MIRIS DAN BANGGA

Bagi penulis sendiri, ada perasaan miris dan bangga sekaligus. Miris, karena betapa besar lubang kosong yang memisahkan kita saat ini dengan para pendahulu kita di masa lalu, sehingga bahkan sebentuk topi yang mereka kenakan pun masih membingungkan bagi kita. Betapa tidak pedulinya kita pada kehebatan masa lalu kita sehingga perlu orang asing untuk menggali dan meriset. Namun juga bangga karena sadar betapa elok dan misteriusnya nenek moyang kita sehingga begitu banyak orang asing yang bahkan menjadikannya disertasi.

Yang tidak dipahami penulis adalah, ketika seorang asing seperti Lydia Kieven, dengan segala perbedaan budaya dan sudut pandang yang menjadikan halangannya untuk mampu utuh mencermati pesan-pesan masa lalu nenek moyang kita, akhirnya bersedia meluangkan begitu banyak waktu dan biaya untuk risetnya, kita di sini malah mengkritisi sebagai karya yang ‘kurang lengkap’ karena belum mencapai titik pencerahan spiritual sebagaimana kita capai dan pahami. Dengan apologianya, Lydia Kieven menegaskan betapa dirinya pun memiliki keterbatasan yang sulit ditembusnya.

Bagi penulis sendiri seharusnya para budayawan, baik yang menjadi pembicara maupun yang hadir, menyambutnya dengan tangan terbuka dan sanjungan. Karena seandainya posisinya dibalik, kitalah yang meriset budaya asing, belum tentu tuntas dan bulat sebagaimana yang dirasakan (roso) orang-orang asing tersebut.

Lydia Kieven jelas memiliki keberanian yang tak dimiliki sembarang orang. “Ketika sebuah relief yang masih samar, mungkin karena aus atau dirusak, kita cenderung tidak berani mengartikannya,” kata Dwi Cahyono arkeolog, “namun Mbak Lydia... terlepas dari itu masih hipotetik...berani masuk dan membedahnya...ini seharusnya menjadi pemancing bagi kita untuk meneliti lebih jauh.”

Lydia Kieven menulis hasil risetnya dalam buku yang diterjemahkan dengan judul Menelusuri Figur Bertopi Dalam Relief Candi Zaman Majapahit. Buku setebal 450 halaman ini diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) atas dukungan Departemen Luar Negeri Prancis dalam rangka program bantuan penerbitan yang dikelola oleh Institut Francais di Indonesia, serta Kedutaan Besar Prancis di Indonesia.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun