“Yaah...ini kan hal yang lumrah dalam diskusi...tak hanya orang-orang saja, ini yang harus Mbak Lydia perhatikan, di sini pun topi ternyata juga didapati pada...seekor sapi,” kata seorang budayawan yang menjadi salah satu pembicara sambil menunjukkan foto relief seekor sapi dengan kepala mengenakan semacam topi.
Demikianlah penggalan diskusi menarik yang penulis hadiri pada 16 Agustus 2015 lalu di Resto Inggil jalan Gajah mada 4, Kota Malang, dengan tema Menelusuri Figur Bertopi Dalam Relief Candi Zaman Majapahit karya Lydia Kieven. Acara yang dihadiri cukup banyak pemerhati kesejarahan ini memang memiliki agenda utama membedah buku dengan judul yang sama dengan tema acara, yang ditulis oleh periset Lydia Kieven, yang kebetulan hadir sebagai pembicara utama.
[caption caption="PERISET ASING. Kiri: Cover buku Menelusuri Figur Bertopi Dalam Relief Candi Zaman Majapahit karya Lydia Kieven, yang diterbitkan KPG atas dukungan Kedutaan Besar Prancis. Kiri: penulis berfoto bersama Lydia Kieven. (Kredit foto: Tjahyana Indra Kusuma)"][/caption]
Cukup menarik ketika Lydia Kieven, sebagai seorang warga asing (Jerman) membeberkan hasil risetnya bertahun-tahun tentang figur bertopi yang muncul pada relief candi-candi Jawa Timur. Menurutnya ini berkaitan dengan tema spiritual, meskipun tidak menutup kemungkinan bagi tema-tema lain. Figur bertopi, yang dengan topinya itu tidak cukup menjelaskan status sosialnya, diidentikkan dengan sosok panji sebagai icon yang mewakili kelokalan. Kisah-kisah panji yang mengemuka, seperti Candrakirana, menjadi prototipe bagi kisah-kisah serupa di seantero Nusantara, bahkan mancanegara.
Adanya tokoh panji dan pasangannya, yang kemudian terpisah, dimana dalam pencariannya sang panji bertemu dengan tokoh pencerah (semacam empu atau rsi), yang dengannya sang panji menemukan kesadaran dan disucikan dengan amerta, dan berakhir dengan bersatunya kembali sang panji dengan pasangannya (yang diidentikan dengan maskulin-feminim sebagai simbol kesuburan). Lydia Kieven memberi penekanan pada pertemuan para panji ini dengan tokoh suci (yang dalam beberapa kasus diikuti dengan permandian pada air), sebagai pesan utama cerita panji. Di sini bisa ditarik simpulan bahwa adanya kisah panji pada relief sebuah candi bukanlah semata untuk hiasan, namun lebih pada unsur spiritual. Panji adalah gagasan masyarakat tentang kesucian dan pencapaian “kasampurnan”.
Lebih jauh, Pak Dwi Cahyono arkeolog, yang menemani Lydia Kieven dalam riset-risetnya, membeberkan bagaimana kemunculan fenomena panji ini selalu berkait dengan mengemukanya isu-isu politik pada beberapa spot sejarah. Dimulai sejak era Singasari, ketika Wisnuwardana hingga Kertanegara menjalankan politik ekspansi untuk kesatuan, adalah masa awal munculnya panji. Lalu pada masa Majapahit dengan sumpah palapanya, masa kesultanan Jawa Tengah, masa kolonial dan seterusnya. Namun masih belum diketahui dengan pasti apa yang menjadi latar dan penggerak munculnya fenomena panji ini. “Ini masih membuka peluang bagi penelitian-penelitian. Jadi, cerita panji masih cukup banyak sisi yang harus digali,” tegas sang arkeolog.
PALU GODAM PARA BUDAYAWAN
“Saya sebagai peneliti yang bukan orang Jawa, sudah berusaha melakukan yang saya kira terbaik,” ungkap Lydia Kieven dengan penekanan, “dan saya minta maaf jika banyak kesalahan.”