Mohon tunggu...
Sasakala Asisi Suharianto
Sasakala Asisi Suharianto Mohon Tunggu... Penulis - Traveller

Pelintas

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Menembus Labirin Jiwa di Buddhist Festival 2013

1 Juli 2013   12:00 Diperbarui: 23 Desember 2019   20:45 1478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lorong waktu. Lampu neon ditata sedemikian rupa menyerupai lorong waktu. (Foto: doc pribadi)

"Dimana saya bisa mendapat Kitab Suci Tripitaka?" saya mengejar. Penjaga itu mengatakan kurang tahu. Ada banyak kitab Tripitaka, katanya, dan dia sendiri belum pernah membacanya langsung. Sepertinya saya masih harus gigit jari cukup lama. Pencarian saya selama ini untuk mendapatkan dua kitab suci lagi, Weda dan Tripitaka, masih belum juga membuahkan hasil.

ARCA. Arca Prajna Paramita yang sering disangka sebagai Ken Dedes, bersama stupika dan tablet bergambar dan bertuliskan Budhisme. (Foto: Doc pribadi)
ARCA. Arca Prajna Paramita yang sering disangka sebagai Ken Dedes, bersama stupika dan tablet bergambar dan bertuliskan Budhisme. (Foto: Doc pribadi)
REPLIKA. Replika taman Lumbini, tempat kelahiran sang Budha (kiri), dan replika Bodghaya, tempat sang Budha mencapai pencerahan (kanan). (Foto: Doc pribadi)
REPLIKA. Replika taman Lumbini, tempat kelahiran sang Budha (kiri), dan replika Bodghaya, tempat sang Budha mencapai pencerahan (kanan). (Foto: Doc pribadi)
TEMPAT PENGAJARAN. Replika Damek Stupa, tempat sang Budha melakukan pengajaran Dhamma untuk pertama kalinya (kiri), dan replika Kushinagar, tempat sang Budha parinibbana (kanan). (Foto: Doc pribadi)
TEMPAT PENGAJARAN. Replika Damek Stupa, tempat sang Budha melakukan pengajaran Dhamma untuk pertama kalinya (kiri), dan replika Kushinagar, tempat sang Budha parinibbana (kanan). (Foto: Doc pribadi)
RUPANG. Berbagai bentuk Budha menurut negara masing-masing. Untuk Indonesia diwakili Budha berbentuk batu seperti pada Borobudur. (Foto: Doc pribadi)
RUPANG. Berbagai bentuk Budha menurut negara masing-masing. Untuk Indonesia diwakili Budha berbentuk batu seperti pada Borobudur. (Foto: Doc pribadi)
Yang unik dari festival ini adalah terdapat kamar-kamar konsultasi dari berbagai aliran Budha. Ketika saya menyatakan ingin masuk di salah satu hall, bersimpuh dan berkonsultasi dengan para biksu, saya katakan pada panitia bahwa saya bukan seorang budhis melainkan pengikut Kristus. Mereka tetap mempersilakan dengan tangan terbuka. Meskipun saya pada akhirnya tidak masuk ke dalamnya, namun rasa simpati yang tumbuh tak juga hilang hingga hari ini. Harus saya akui, acara pameran ini memberikan rasa yang lebih damai. 

SEDERHANA. Sikat gigi yang terbuat dari kayu siwaâ (kiri), menunjukkan pada kita bagaimana sederhananya kehidupan para biksu Budha. Sikat gigi ini tidak memerlukan pasta. Foto kanan, orang-orang yang mempraktekkan kehidupan sederhana para biksu di counter budhist Thailand. (Foto: Doc pribadi)
SEDERHANA. Sikat gigi yang terbuat dari kayu siwaâ (kiri), menunjukkan pada kita bagaimana sederhananya kehidupan para biksu Budha. Sikat gigi ini tidak memerlukan pasta. Foto kanan, orang-orang yang mempraktekkan kehidupan sederhana para biksu di counter budhist Thailand. (Foto: Doc pribadi)
PEWARNA. Bahan pewarna kain para biksu (kiri) yang untuk mempertahankan kesolidan warnanya dicampur dengan adonan kayu nangka (kanan). (Foto: Doc pribadi)
PEWARNA. Bahan pewarna kain para biksu (kiri) yang untuk mempertahankan kesolidan warnanya dicampur dengan adonan kayu nangka (kanan). (Foto: Doc pribadi)
"Daripada hidup selama 100 tahun tanpa melihat timbul dan tenggelamnya segala sesuatu (anicca), lebih baik hidup satu hari melihat timbul dan tenggelamnya segala sesuatu". Sang Biksu mengamati sebentar tulisan itu sebelum memberikan penjelasan yang cukup panjang. Menurutnya, saya harus lebih memahami hidup, memahami siklus, sangkan paraning dumadi, agar hidup saya bermakna. Dan bukan sebaliknya, malah menjadikan hidup hanya berlalu tanpa arti, terjebak larut dalam siklus yang memenjara.

PARA BIKSU. Penulis berfoto bersama biksu Samanera Yasaseno setelah cukup lama berdiskusi dengannya tentang Budhisme (kiri). Seorang biksu dari Thailand tengah mempraktekkan cara membuat sikat gigi dari kayu, dibawah naungan pohon bodhi. (Foto: Doc pribadi)
PARA BIKSU. Penulis berfoto bersama biksu Samanera Yasaseno setelah cukup lama berdiskusi dengannya tentang Budhisme (kiri). Seorang biksu dari Thailand tengah mempraktekkan cara membuat sikat gigi dari kayu, dibawah naungan pohon bodhi. (Foto: Doc pribadi)
Yah, dia benar sekali. Sekeluar dari pameran yang menyejukkan hati ini seharusnya saya memang mencari makna sejati dalam hidup saya, yang sejujurnya, hampir-hampir berlalu seperti siklus siang dan malam, berjalan tanpa makna. Sebuah festival yang unik dan menyegarkan. Tak rugi rasanya kami mengeluarkan uang dua puluh ribu rupiah untuk tiket masuk dua orang. 

Semoga seluruh makhluk senantiasa berbahagia...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun