(Curhat menjelang Hari Gemar Membaca dan Mengunjungi Perpustakaan)
Membaca adalah hal yang melelahkan. Ini terutama bagi mereka yang tidak biasa membaca. Banyak kendala untuk bisa rajin dan gemar membaca. Hal-hal yang bersifat rekreatif, menimbulkan aktivitas fisik, dan cenderung tidak memerlukan pemikiran biasanya lebih disenangi ketimbang membaca. Padahal, propadanda tentang membaca, terkait kegiatan literasi (sekolah) saat ini sedang hangat dibicarakan. Sementara itu, perpustakaan yang digadangkan menjadi pusat literasi malah tetap stagnan sebagai bangunan sepi tanpa pengunjung.
Saya teringat seorang teman, sebut saja Pak Bento, yang selalu mengabarkan ketertarikannya atas tulisan-tulisan yang pernah dibacanya. Saya yakin dia tidak hendak mempamerkan diri atas kebiasaannya membaca, namun lebih kepada bagaimana dia mampu mencerna teks yang dibacanya hingga muncul kesimpulan. Sering beliau mengusulkan tema aktual untuk bahan editorial, dan itu menandakan bahwa lewat membaca kreativitas berpikir menjadi sangat cemerlang dibanding tidak pernah membaca sama sekali. Pak Bento adalah contoh guru yang "suka" membaca selain aktif melaksanakan kesehariannya sebagai pendidik. Artinya, selalu ada kebutuhan untuk menambah wawasa. Dan saya yakin, dalam hal pengetahuan, Pak Bento tentu memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang lain yang man-dek membaca.
Kegiatan Pak Bento selalu memanfaatkan bahan bacaan untuk menambah wawasan adalah contoh positif bagaimana kemudian Gerakan Literasi di Sekolah (GLS) bisa berhasil. Dal hal ini, guru tidak hanya memberi-kan anjuran, penekanan, atau bahkan pemaksaan kepada siswa untuk mem-baca, namun juga memberi contoh agar kemudian siswa mengikuti jejak sang guru. Bahwa membaca adalah ke-giatan enjoyabel yang dapat dinikmati setiap saat.
Perlu diakui bahwa minat membaca saat ini disinyalir sedang sangat tidak baik. Kondisi ini diperparah sengan maraknya gadget dan media sosial yang menawarkan  banyak hal selain membaca. Game online, film aksi, dan chatting bebas menjadi kendala nyata atas merosotnya minat kegiatan membaca. Di kelompok orang dewasa, dalam medsos-medsos tertentu, misalnya Whatsapp, banyak diupload teks berkonten macam-macam, dari serius hingga gurauan semata.Â
Walaupun teks pada WA banyak dibaca, namun semangatnya lebih kepada ketertarikan akan chattingnya itu, bukan kepada konten teks yang dibaca. Terhadap teks demikian cukup terkirim komen : bagus, amin, alhamdulillah, atau acungan jempol, emot tersenyum, dsb. Hanya sebatas respek terhadap orang yang mengirimnya. Tidak lebih dari itu. Padahal, konten pengetahuan yang lebih luas justru ada di buku, bukan pada teks penggalan di WA yang terkadang isinya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan.
Teks yang lebih lengkap, lebih kaya, dan lebih luas adanya di perpustakaan. Ini adalah sebuah tempat yang hingga saat ini masih dianggap sebagai tempat angker, sepi, dan jikapun masuk ke dalamnya jika dalam keadaan terpaksa : mencari materi untuk mengerjakan tugas guru  atau dosen. Sementara dalam keseharian, perpustakaan tetap merupakan tempat yang tidak pernah bisa akrab dengan siapa pun. Teks belum menjadi kebutuhan. Informasi pengetahuan baru dianggap se-batas hiasan hidup yang muncul pada saat-saat tertentu.
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) mencoba mengalihkan ketertarikan terhadap teks tidak hanya di perpustakaan, tetapi di mana saja, bahkan di tempat terbuka. Di setiap kelas dianjurkan ada sudut-sudut baca, sementara di luar kelas atau di lingkungan sekolah dianjurkan juga adanya area-area baca. Ini sungguh luar biasa. Upaya yang seharusnya bisa berhasil jika para pengelola GLS berjibaku, bahu-membahu mengembangkan GLS hingga indikator siswa gemar mem-baca terjawab pada waktunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H