Dalam pembangunan infrastruktur, beton merupakan material yang umum digunakan lantaran berbagai kelebihan yang dimilikinya, seperti kekuatan dan ketahanannya. Namun, disamping kelebihan yang ada beton juga merupakan material yang mudah mengalami keretakan. Hal ini disebabkan karena beberapa hal, diantaranya suhu serta kelembaban yang tidak stabil. Sehingga beton membutuhkan perawatan agar struktur bangunan tetap terjaga. Akan tetapi biaya perawatan yang dibutuhkan beton bisa mencangkup 2% dari harga standar tertinggi bangunan per m2.
Sebagai upaya untuk menekan biaya pemelihaaran bangunan, beton dapat digantikan dengan bio concrete, yaitu beton yang dapat mengatasi keretakan pada beton secara mandiri (self-healing) dengan bantuan mikroorganisme Bacillus sp. dan Sporosarcina sp. Bakteri yang digunakan akan memproduksi suatu senyawa yang mampu mengisi keretakan pada beton. Selain itu, bio concrete juga bisa dijadikan alternatif penekanan biaya perbaikan beton sebesar Rp 442.725/m3.
Pada dasarnya, ciri khas dari bio concrete yakni kemampuannya dalam melakukan self-healing yang diadaptasi dari dua jenis self-healing concrete, yaitu autogenous healing and engineered healing. Autogenous healing merupakan proses alami yang terjadi dalam beton akibat reaksi kimiawi dalam matriks beton. Proses tersebut akan mengisi retak beton dengan reaksi hidrasi partikel semen yang menghasilkan CaCO3 (kalsium karbonat). Sedangkan, engineered healing didapat dari proses penambahan bahan kimia ataupun biologi kedalam campuran matriks beton.
Salah satu penerapan engineered healing dilakukan dengan pengaplikasian bakteri sebagai healing agent. Bakteri yang digunakan dalam produksi bio concrete adalah kelompok bakteri Bacillus sp. dan Sporosarcina sp.
Proses self-healing pada bio concrete menggunakan teknik enkapsulasi yang berfungsi untuk mengisolasi bakteri (healing agent). Metode ini bekerja apabila terjadi keretakan pada beton yang memicu kerusakan kapsul pada bakteri di sekitar area keretakan. Bakteri kemudian terlepas menuju pada bagian beton yang retak, sehingga memicu mekanisme self-healing karena bereaksi dengan oksigen (O2), kelembaban, dan suhu.
Reaksi tersebut menyebabkan bakteri membentuk enzim urease yang berfungsi untuk mempercepat laju reaksi kimia (sebagai katalisator), mengubah urea menjadi karbon dioksida dan ammonium karbonat. Ammonium karbonat akan berikatan dengan ion Ca2+ yang ada pada matriks beton dan membentuk endapan CaCO3 sehingga dapat menutup retak pada beton.
Di sisi lain, bio concrete memiliki kelebihan dan kekurangan yang masih dipertimbangkan. Penggunaan bio concrete lebih resisten terhadap perubahan suhu yang fluktuatif dan korosi. Kekuatan kuat tekan beton dari hasil pengujian juga membuktikan bahwa self-healing concrete menghasilkan kuat tekan 10,21% lebih besar dari kuat tekan beton normal dengan komposisi tertentu. Namun, proses self-healing tersebut hanya berlaku di retakan-retakan dalam.
Proses penimbunan CaCO3 dari bakteri tidak akan sampai ke permukaan beton sebab bakteri itu akan mati jika terpapar sinar matahari secara langsung. Selain itu, biaya pembuatan bio concrete ini 7-28% lebih mahal daripada pembuatan beton konvensional. Dari segi kesehatan, bakteri yang tumbuh dalam bioconcrete tidak baik bagi kesehatan manusia serta atmosfer lingkungan bila melebihi batas tertentu.
Berdasarkan pembahasan mengenai bio concrete dapat disimpulkan bahwa bakteri Bacillus sp. dan Sporosarcina sp. dapat menghasilkan enzim urease sebagai katalis pembentuk CaCO3 yang dapat menutup retak pada beton. Disamping pentingnya peran bakteri tersebut sebagai healing agent, metode yang digunakan masih memerlukan perkembangan lebih lanjut karena masih ditemukannya beberapa efek yang kurang baik, seperti rentannya bakteri bila terpapar sinar matahari secara langsung dan tidak baiknya pengunaan bakteri bila melebihi batas tertentu bagi kesehatan manusia serta atmosfer.
Walaupun demikian, penerapan bio concrete terbukti dapat mengurangi biaya perbaikan beton. Penggunaan Pada proses perbaikan beton biasa, biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 2.802.725/m3, sementara pada beton self-healing hanya menghabiskan biaya Rp 2.359.295/m3. Hal ini menunjukkan, penggunaan self-healing concrete dapat menurunkan biaya sebesar Rp 442.725/m3. Dari sini dapat terlihat bahwa self-healing concrete bisa dijadikan solusi pemeliharaan infrastruktur rendah biaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H