Mohon tunggu...
Kurniasih Bahagiati
Kurniasih Bahagiati Mohon Tunggu... -

ingin sekali ia meletakkan dunia di tangannya, bukan di hatinya, ingin pula ia jadikan Tuhan sebagai tujuannya, bukan tujuan sebagai tuhannya,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Raden Patah dan Abu Bakar

5 September 2010   11:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:26 2147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Antara Raden Patah dan Abu Bakar... Raden Patah dan Abu Bakar adalah dua nama besar yang menyejarah. Yang satu besar mungkin hanya lingkup lokal di Indonesia saja, sedangkan yang satu lagi mendunia. Tak salah kemudian nama keduanya dipakai sebagai nama salah dua Masjid dari ratusan masjid di Malang. Yang satunya terletak di dalam kampus. Yang satu lagi di kompleks perumahan elite.  Yang menjadi inti dari tulisan ini adalah - Keduanya sama-sama menjadi saksi bisu, dalam perjalanan titik balik-ku, bahkan mungkin banyak orang lainnya. Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya, raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Cina. Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar Bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Cina yang dinikahi Arya Damar tadi melahirkan Raden Kusen. Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi bupati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada Sunan Ampel di Brawijaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah dan membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren. Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah. Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak. Menurut Serat Pranitiradya Raden Patah kemudian bergelar Sultan Syah Alam Akbar. Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka", karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Dari kisah singkat Raden Patah di atas, maka wajar jika Raden Patah kemudian dipakai sebagai nama Masjid Kampus di Kampus Brawijaya. Dan di sanalah, kompleks Masjid Raden Patah itu menjadi saksi bisu perjalanan Hijrah-ku. Ada senyum dan tawa, tapi ada juga karpet sajadah yang basah karena air mata. Dari prasangka menjadi perasaan cinta, dari celana jins berganti rok, dari jilbab sepundak memanjang sampai ke punggung, dari tas kosong tanpa mushaf sampai tiada hari tanpa Mushaf, dari musik ke nasyid dan murotal, dari persahabatan menjadi Ukhuwah.. Strategi dakwah, lingkaran-lingkaran kecil taman surga di dunia, menangkap ilmu dan cahaya, sampai tempat mengasingkan diri, semua pernah kulakukan di sana - di Masjid Kampus Brawijaya Raden Patah... Kini Masjid itu telah rata dengan tanah. Sebuah Masjid berlantai 6 akan dibangun di atas tanah itu, maka bangunan lama pun diruntuhkan tanpa sisa. Aku tak tau harus bercerita pada siapa, orang-orang yang meninggalkan jejak bersama di Masjid itu kini tak ada lagi di kota ini. Nur Azizah, Muniroh Mahmudah, dan nama-nama lainnya yang tak tergantikan dalam hidupku, rinduku telah sampai menyesakkan dada. Raden Patah boleh diruntuhkan, tapi dia akan tetap ada di bagian kecil hati kita... Masjid kita, eM-eR-Pe... Saatnya berkemas, Abu Bakar sudah menanti untuk dikunjungi, dari Raden Patah kita akan menuju ke sana, Masjid megah yang bertengger di atas perumahan elite Puncak Dieng. Empat tahun sudah, menghabiskan 10 hari terakhir di sana, antara Raden Patah dan Abu Bakar... 'Muniroh Mahmudah, Riyanti Dwi Isnaini, Lailatus Uzlifa, Prima Permatasari, Dian Kania Sari, Lathiyfah Shanti Purnamasari, Airindi Ken Zinda Rahma, Niswatul Juwitasari, Eliana Margayanti, Novi Tria Susanti.. Setiap Ramadhan datang, satu sahabat berkurang.. Kangen bisa I'tikaf sama anti lagi di Abu Bakar... Semoga perpisahan berujung pada pertemuan.. Anti tidak tergantikan, ' [caption id="attachment_257616" align="aligncenter" width="300" caption="I'tikaf"][/caption] [dari Raden Patah menuju Abu Bakar] Abu Bakar Ash Shiddiq, dia lah yang menyambut cinta Rasulullah pada awal-awal kenabiannya. Laki-laki lembut itu bernama asli Abdul Ka’bah bin Utsman bin Amir yang kemudian diubah oleh Rasulullah menjadi Abdullah bin Abu Quhafah dan dijuluki Abu Bakar Ash Shiddiq karena Ash Shiddiq artinya ‘yang berkata benar’. Seharusnya akan ada judul tersendiri untuk menuliskan menuliskan kisah Abu Bakar, semoga ada kesempatan… Yang jelas, Abu Bakar yang mendunia ini, namanya pun dijadikan sebagai nama salah satu Masjid di Malang, Indonesia. Aduhai, berapa jauh jarak antara Mekkah dan Malang? berapa jauh pula jarak zaman Abu Bakar dengan abad milenium ini… tapi kini setiap orang pun mengenalnya, sebagai mertua sekaligus sahabat yang paling setia menemani perjuangan Rasulullah. Masjid Abu Bakar berdiri megah di atas perumahan elite Puncak Dieng. Nun jauh di sana, di ujung pemberhentian angkot ASD. Bangunan gaya timur tengah itu bertuliskan kaligrafi surat Ar Rahman di kubah bagian dalam-nya. Penyatuan semuanya, penerangannya, udaranya, pemandangannya, lantai pijakannya, bahkan dinding kacanya menjadi perpaduan yang satu yang membuat betah, terlebih juga energi spiritual yang ditularkannya. Tapi, semoga kita tidak mencari kekhusyukan di sana. Bukan pula ini pengkultusan sebuah Masjid. Meski nyatanya, empat tahun i’tikaf hanya ada di antara Raden Patah dan Abu Bakar. Jika ada 10 hari, maka 3 hari di Raden Patah dan 7 harinya di Abu Bakar… Begitu pun pada Ramadhan kali ini. Aku harus ridho baru bisa memulai I’tikaf di malam ke 25. Tapi sekali lagi, temanya adalah tentang ukhuwah. Kapan lagi bisa ifthor jama’i, tarawih berjama’ah, tilawah bersama, tidur dan makan sahur bersama. Di sela-selanya ada obrolan ringan supaya tidak lelah. Ada pula makanan kecil untuk mengisi perut yang mulai keroncongan lagi. Inilah ikatan itu, persahabatan berdasarkan ikatan aqidah. Kami tidak satu darah, pun tidak satu kota. Bahkan dari latar belakang keluarga yang sangat beragam. Begitulah ukhuwah, tidak terlihat yang mengikat antar satu hati dengan hati yang lain.. tapi kami saling tarik menarik.. Antara Raden Patah dan Abu Bakar, suatu saat akan kuceritakan kisah ini pada keturunanku,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun