Mohon tunggu...
Asih Rangkat
Asih Rangkat Mohon Tunggu... lainnya -

Mewujudkan lamunan dalam tulisan...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Setangkai Edelweis Ketika Angin Berhembus

14 September 2011   10:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:58 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Asih berdiri ditepi pantai. Matanya menyiratkan kekaguman akan lukisan keindahan yang tampak didepan matanya. Warna keemasan dari sunset senja hari yang begitu menawan membuatnya tertegun. Tak sadar dalam hitungan menit dia berdiri. Memasang kamera handphone dan siap mengabadikan keindahan sang pencipta.

Dia terus memotret menggunakan hapesederhana. Kakinya yang menapak di tumpukan batu yang tak beraturan di pinggir pantai sesekali terlihat oleng. Entah apa nama pantai ini. Asih hanya tahu sekarang dia berada di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Sudah beberapa hari ini dia menikmati panorama alam tersebut, namun tak juga dia merasa bosan. Setiap kali senja datang, Asih selalu berlari menuju pantai. Dia ingin menikmati setiap momen keindahan yang dia temui dalam perjalanannya. Perjalanan menentramkan batin, begitu Asih menyebutnya.

Sudah dua minggu dia meninggalkan Desa Rangkat. Meninggalkan suami tercinta, Bocing yang telah menikah lagi dengan Uleng. Asih tak sanggup berada didekat mereka. Hatinya belum siap karena kejadian itu tak pernah dia bayangkan. Dalam pikirannya yang polos, suaminya akan setia padanya. Melupakan kejadian masa lalu seperti janji mereka saat akan menempuh hidup baru. Namun janji tinggal janji. Ada takdir yang tak bisa mereka tolak. Suaminya telah ditakdirkan untuk menikah lagi. Kata takdir yang membuat Asih tak berkutik untuk menolak pernikahan tersebut.

Asih terluka. Membawa lukanya menjauh dari Rangkat. Meninggalkan hingar bingar Desa Rangkat yang semakin hari semakin ramai dengan warga baru. Walau tak rela, Asih memaksakan diri untuk pergi. Pergi membawa luka atau tinggal bersama luka. Tak ada bedanya. Dia tetap berada dalam kubangan duka. Asih memilih berlalu dari kehidupan suaminya. Dia berharap hatinya akan terobati dengan melihat berbagai hal yang ditemuinya dalam perjalanan.

Siang hari dia mungkin masih bisa tersenyum dan tertawa. Namun kala malam menjelang, tangis tak lagi dapat dia bendung. Dia merindukan belaian lembut suaminya. Kata-kata penuh sayang yang selalu diucapkan kala mereka bersama. Sekarang suara itu tak terdengar lagi. Dia hanya pergi membawa foto Bocing yang kebetulan masih tersimpan di hapenya. Itupun nyaris terhapus saat dia tak sengaja memencet tombol di hape. Mata Asih berkaca-kaca saat menyadari foto suaminya masih bisa terselamatkan.

Asih memotret dengan hati terluka dan mata yang basah. Laut membuatnya teringat akan Bocing. Selama ini suaminya berhubungan dengan laut karena usaha ekspor ikan yang digelutinya. Susah payah Asih menghindar, dia tetap juga akhirnya bertemu dengan pantai. Pantai yang selalu mengingatkan dia akan sosok Bocing. Kenangan di pantai saat bersama di Buli makin menambah pedih deretan kenangan yang ingin dia hapus.

Karena terus memotret dan melamun dalam kesedihan, Asih tak menyadari langkah-langkah kakinya. Dia terus melangkah tanpa melihat batu-batu karang yang jadi pijakannya. Dalam hitungan detik tubuhnya oleng saat pijakan kakinya meleset. Asih takbisa mengendalikan diri.Tubuhnya melayang dengan bayangan sunset dibelakangnya. Dia sudah pasrah akan terbaring di pasir pantai. Dengan menutup mata, Asih bersiap untuk terjatuh.

Tapi mendadak matanya membelalak kaget. Tubuhnya tak menyentuh pasir dipantai. Dia bahkan tengah berada dalam dekapan seseorang. Seorang pemuda yang tak dikenalnya. Pemuda itu mendekapnya dengan erat seolah takut dia terlepas. Asih terpana. Untuk sesaat dia terdiam. Tak mengira akan mengalami kejadian seperti ini. Tapi kemudian kesadarannya pulih. Dia melepaskan dekapan pemuda tersebut, lalu menjauh beberapa langkah.

“ Terima kasih sudah menolong saya. Maaf sudah merepotkan.” Ucap Asih dengan gugup. Baru kali ini dia didekap lelaki lain selain suaminya. Perasaan aneh yang membuatnya merinding. Pemuda itu tersenyum manis. Wajahnya yang tenang dihiasi jenggot tipis dan dalam balutan baju gamis mengingatkan Asih akan sosok Bocing.

“ Tidak apa-apa, mbak. Kebetulan saja saya berada tidak jauh dari mbak jadi saya refleks berlari saat mbak hampir terjatuh.” Jawab pemuda itu dengan santun.

“ Makasih ya..” ucap Asih lagi.

“ Sama-sama. Saya permisi dulu, mbak. Mau ke mesjid. Oh, ya mbak tinggal dimana? Sepertinya mbak bukan warga sini.”

“ Iya. Saya baru tiga hari tinggal di desa ini. Saya menginap dirumah pak Desa. Ada kerjaan sedikit.”

“ O, begitu. Kalau saya tinggal di mesjid. Tadi berkunjung ke rumah warga. Saya permisi dulu. Lain kali hati-hati ya mbak. Jangan berdiri diatas batu-batu karang itu lagi.”

Pemuda itu melangkah meninggalkan Asih yang masih menatapnya dengan sorot mata yang lain. Sorot mata yang berisi bayangan Bocing. Mengapa dia harus mengalami kejadian ini? Saat dia ingin melepaskan diri dari bayang-bayang Bocing, dia justru makin didekatkan pada sosok suaminya itu.

*****

Hari-hari selanjutnya tak lagi sama. Sosok seorang pemuda yang hadir menolongnya sore itu memberi setitik embun dalam hati Asih yang terluka. Pulang ke rumah dia terus teringat akan pemuda tersebut. Senyumnya yang terlihat lembut serta tutur bahasanya yang santun, telah meninggalkan pesona tersendiri dalam hati Asih. Dia terlupaakan statusnya yang masih jadi istri Bocing.

Saat terdengar Adzan maghrib, Asih tiba-tiba tergetar. Suara Adzan begitu merdu terdengar.

“ Ayo ke mesjid mbak Asih. Sesekali sholat di mesjid.” Ajak ibu kepala desa yang telah mengenakan mukena. Pak Desa keluar dari kamar dan segera menuju mesjid.

“ Tunggu ya, bu. Saya ambil mukena dulu.”Ucap Asih lalu bergegas mengambil mukena.

Sebenarnya sejak tiba di desa tersebut, Asih ingin setiap maghrib bisa melaksanakan sholat di mesjid. Namun karena halangan bulanan yang tiap bulan menimpa wanita, maka baru hari ini dia bisa berkesempatan untuk menjejakkan kakinya di mesjid tersebut.

Jarak mesjid dengan rumah kepala desa tidak terlalu jauh. Hanya melangkah beberapa meter, mereka telah tiba di pelataran mesjid. Nampak beberapa jamaah bergegas untuk melaksanakan sholat maghrib. Setelah mengucapkan salam, Asih melangkah masuk memasuki bangunan mesjid yang sederhana.

Selesai sholat maghrib tak lupa Asih berdoa. Dengan khusyuk dia memanjatkan doa. Ada tetesan air mata yang ikut mengiringi doanya. Banyak pengharapan yang dia pinta. Ketenangan batin dan kebahagiaan keluarganya yang utama.

“ Mbak Asih, sudah selesai doanya?” tegur ibu kepala desa. Asih mengangguk. Mereka lalu berdiri dan beriringan keluar dari mesjid bersama jamaah yang lain.

“ Assalamu Alaikum, bu kades..” ucapan salam dari seseorang membuat mereka berbalik. Nampak pemuda yang tadi sore menolong Asih yang hampir terjatuh. Ibu kepala desa dan Asih tersenyum saat melihat pemuda yang menyapa mereka.

“ Wa alaikum salam,mas Firman.” Balas bu kades. “ Ada apa, mas Firman?” lanjut bu kades.

“ Maaf, bu. Saya menemui ibu disini. Saya hanya ingin memastikan, rencana ibu untuk membuat TPA, apakah itu benar?”

“ Benar mas Firman. Siapa yang memberitahu mas Firman?”

“ Salah seorang warga. Saya senang mendengarnya, bu. Kami memang berniat membicarakan dengan bapak kepala desa. Kalau ibu memerlukan bantuan saya, ibu bisa menghubungi saya.”

“ Iya, makasih ya, mas Firman.”

“ Kalau begitu saya permisi dulu, bu. Assalamu Alaikum.”

“ Wa alaikum salam.” Jawab Asih dan ibu kepala desa bersamaan.

“ Mas Firman memang orang yang baik. Dia belum sebulan berada di desa kami.” Bu kades membuka pembicaraan dalam perjalanan pulang.

“ Selain baik, saleh dan ganteng, dia juga masih bujangan. Dia pernah ngomong ke ibu, semoga bisa menemukan jodoh di desa ini. Dia berharap bisa menetap selamanya di desa ini.” Asih menyimak perkataan ibu kades.

“ Mbak Asih sudah menikah?”Asih mengangguk.

“ Iya, bu. Suami saya ada di Desa Rangkat.”

“ Sayang sekali. Padahal ibu lihat kalian sangat cocok. Pas sebagai pasangan.”

Asih tersenyum geli. Dia tak mengira ibu kades akan mengucapkan kalimat seperti itu.

“ Hehehe..ibu bisa saja. Masih banyak gadis yang bisa dijadikan istri. Saya sudah menikah,bu.”

Pembicaraan mereka terhenti ketika tiba di depan rumah. Pembicaraan yang terkesan tak berarti. Ibu kades tidak tahu kalau ucapannya membuat Asih akhirnya memikirkan masa depan rumah tangganya bersama Bocing. Asih duduk merenung di pembaringan. Pikirannya berkecamuk. Menghadirkan masa lalu dalam lamunannya. Sosok Firman tak disadarinya telah membuat hatinya goyah. Walau berusaha bertahan dengan kesetiaan, sekelebat bayangan Firman melintas saat mendekapnya di tepi pantai. Asih terhenyak. Dia sadar telah melakukan dosa. Bagaimanapun dia masih menjadi istri Bocing, haram memikirkan lelaki lain selain suaminya. Asih bangkit lalu bergegas keluar kamar. Dia menuju dapur untuk membantu ibu kades menyiapkan makan malam. ****

ECR-3#97

____________________________________________

DESA RANGKAT  menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda,  datang, bergabung  dan berinteraksilah bersama kami (Klik logo kami)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun