Hari masih sangat pagi tapi kesibukan di rumah pak Windu sudah terlihat. Keluarga itu tengah mengatur umbul-umbul, poster dan spanduk di depan rumah mereka. Pak Windu beserta anak, menantu dan cucu nampak sigap bekerja. Pilkades membuat desa nampak meriah hari ini.
“Kita kan mendukung mbak Asih ya, ayah.” Ucap Acik sembari menyeka keringat di keningnya. Pak Windu tersenyum sambil mengikat spanduk di depan pagar.
“Tidak seperti itu anakku.” Ucap Pak Windu.
“Meski kita satu keluarga, tapi masing-masing punya hak untuk memilih calon yang sesuai hari nurani.” lanjutnya.
Acik termangu.
“Kek! Ini taruh dimana?!?” tiba-tiba Aya dan Anna berteriak dari sudut rumah. Mereka tengah menggotong bambu untuk di jadikan penyanggah umbul-umbul. Pak Windu hanya membalas dengan menunjuk sudut pagar.
“Abi mana ya?” tanya pak Windu. Acik belum menjawab ketika Abi muncul dari samping rumah mendekati kedua anaknya.
“Trus Asih mana? kok dari tadi ayah belum melihatnya?”
“Tuh mbak Asih, ayah.” Tunjuk Acik dengan dagunya ke arah Asih yang muncul lalu menempel poster di dinding rumah. Acik dan Pak Windu terheran-heran ketika melihat wajah dalam poster.
“Mbak Asih, mbak Asih kan ikut mencalonkan diri. Kok yang di pajang foto mas Ibay?” tanya Acik heran sambil mendekat. Dia berdiri di samping Asih, memandangi kakaknya itu menempel poster di sekitar rumah.
“Karena mbak memilih mas Ibay. Mbak yakin mas Ibay calon yang tepat untuk memimpin Rangkat setahun ke depan. Figurnya bisa masuk ke semua lapisan masyarakat, dia juga bijak dan santun dalam bersikap. Sebagai ayah yang lembut, kakak yang melindungi, saudara, adik, anak, semua ada pada diri mas Ibay. Warga juga merasa benar-benar di ayomi oleh sikap beliau. Bukan karena mas Ibay adik ipar maka mbak memilihnya. Mas Ibay memang layak untuk di pilih. Tidak ada calon lain yang pantas memimpin Rangkat selain beliau. Pokoknya jangan kuatir, desa kita akan lebih berkembang di bawah kepemimpinan mas Ibay.”