Pagi yang indah dengan kabut yang masih menyelimuti desa Rangkat, Asih membuka jendela lalu menatap kaget ke arah jalan. Pandangannya tak lepas mengamati seseorang yang berjalan menuju rumahnya.
“Mas Firman..”ucapnya pelan lalu dengan gugup menutup gorden jendela seolah takut terlihat oleh si pemilik wajah tenang nan santun itu.
Sejak melihat Firman, degup jantung Asih berpacu kencang. Tubuhnya bergetar menahan perasaan. Ada kerinduan dan rasa takut yang datang bersamaan. Dia ingin bertemu untuk melepas rasa rindu yang selama ini terpendam. Namun sebelah hati menahan niatnya demi mengingat status Firman yang kini tak sendiri lagi.
“Bagaimana aku harus bersikap?” Asih tiba-tiba di dera perasaan bingung. Bolak balik dia berjalan di dalam kamarnya sementara tangannya mulai berkeringat karena cemas yang makin memuncak.
“Aku harus bagaimana?”Asih menatap cermin dan memandangi wajahnya yang kini terlihat sendu. Tatapan matanya mulai mengabur karena air mata.
“Assalamu Alaikum..” suara Firman seperti aliran listrik yang menggetarkan tubuh Asih. Sejenak Asih terpaku lalu tanpa sadar membalas salam tersebut.
“Wa Alaikum Salam..”balasnya dengan suara bergetar. Asih nyaris tak tahan lagi. Dia ingin berlari menyambut kedatangan Firman namun ketika membuka gorden pintu tiba-tiba sentuhan lembut ayahnya menahannya.
“Nanda di kamar saja. Biar ayah yang menemuinya...” Pak Windu seolah paham perasaan putrinya. Mendengar ucapan ayahnya, Asih urung melangkah. Dia berbalik lalu duduk di pembaringan sambil memeluk bantal.
Detik demi detik terasa sangat lama bagi Asih menanti ayahnya membuka pintu. Dia bahkan menahan nafas karena takut suara helaan nafasnya terdengar oleh Firman. Asih menutup mata, membiarkan bulir-bulir bening di matanya mengalir ketika Firman benar-benar telah masuk ke dalam rumah dan tengah duduk berbincang dengan ayahya.
Tutur kata Firman membuat airmatanya kian mengalir deras. Asih membenamkan wajahnya di bantal karena tak ingin isaknya terdengar.