“Huffhhh…capeeek….,” teriak Tari, adikku sambil menyelonjorkan kakinya dipelataran gedung Mess Daerah Kota Singkawang itu. Aku mengikutinya duduk sambil membujurkan kaki, sementara sekujur bajuku basah berkeringat.
“Mau es nggak, dek?” tanyaku padanya. Tanpa perlu waktu lama ia langsung menyahut. Aku pun bangkit lagi mendekati gerobak pedagang es, dan kubeli 5 kantong es campur. Usai membeli, aku kembali ketempat adikku duduk tadi, dan kulihat ibu, Mbak Siti dan Mas Jo suaminya, sudah datang.
“Kok ketinggalan jauh banget bu? Padahal tadi rasanya jarak kita kan dekatan. Wita sama Tari didepan ibu,” kataku sambil menyodorkan es campur masing-masing sekantong.
“Iya, tadi ada rantai sepeda peserta yang lepas, makanya perjalanan jadi ditunda sebentar,” jawab ibu singkat sambil menyeruput es campur. Lalu kami bersama-sama mendengarkan pengumuman door prize yang dibacakan MC untuk acara Sepeda Santai ini. Sialnya, tak satupun nomor kami yang kena. Tepat pukul 9, ibu mengajak kami pulang kerumah.
Karena kami semua membawa sepeda, jadinya kami juga pulang dengan mengendarai sepeda masing-masing. Seperti pawai saja, karena posisi kami berjejer rapi dijalanan seperti bebek berbaris. Tak ada pengemudi lain yang kami jumpai, karena mungkin hanya kami peserta yang rumahnya paling jauh, agak keluar dari pusat kota. Kami mengendarai sepeda dengan santai sambil masing-masing tetap menjaga jarak.
Aku menikmati perjalanan dengan sepeda ini, karena memang sudah hampir 4 tahun aku tidak melakukannya. Dulu waktu aku masih duduk di bangku SMA, sepeda mini inilah yang setia mengantarkanku pergi dan pulang sekolah. Tak peduli panas atau hujan, aku tetap berangkat sekolah, kecuali jika aku sakit. Dan aku masih ingat ada seorang teman yang biasa pergi dan pulang bersamaku. Ah, dimana dia sekarang? Aku kehilangan kabarnya.
Saat sepeda kami sedang berbelok menikung disebuah jalan yang tak jauh dari pintu gerbang memasuki Kota Singkawang, pandanganku tertuju pada sebuah cabang jalan yang berada diseberang kanan. Seperti teringat akan sesuatu, aku menepikan sepeda dan berhenti dipinggir jalan. Anggota keluargaku seperti menyadari keberhentianku, sehingga mereka juga ikut menepi.
“Kenapa, Wit?” tanya ibu. Aku menoleh cepat pada beliau.
“Bu, bolehkah aku pulangnya nanti saja? Aku ingin ke jalan itu. Sudah lama aku tidak melewatinya,” kataku sambil menunjuk jalan itu.
“Mau ditemanin nggak?” tawar adikku. Aku menggeleng cepat, karena sejujurnya aku ingin sendirian ke jalan itu. Entah kenapa.
“Nggak usah, pulanglah duluan,” kataku lagi. Ibu menyuruhku berhati-hati dan mereka pun melanjutkan perjalanan. Aku menyeberangi jalan dan masuk ke jalan itu.