Bab 3
Hari itu, hasil jerih payah Sumi dan emaknya membuahkan hasil. Sebelum pulang ke rumah, mereka ke pasar untuk belanja sayur, sisanya untuk kebutuhan lainnya termasuk suami dan anak laki-laki nya.
Jalanan pagi itu lengang, tak seperti biasanya. Mungkin karena musim berganti semi, jadi para petani sibuk menggarap tanah mereka. Kampung Setu memang mayoritas petani selain pedagang.
***
Pak Karim menggebrak meja. "Sialan, tak ada makanan satupun di meja. Kemana saja mereka jam segini belum pulang?" gerutunya. Nafasnya ngos-ngosan, matanya merah seperti habis mabuk dan bau mulutnya khas minuman keras. Pak Karim berdiri dengan sempoyongan.
Tak berapa lama, Sumi dan emaknya datang. Mendengar suara ribut dari dalam rumah, Bu Karim membuka pintu lebar- lebar.
"Kemana saja kalian, jam segini baru pulang? " pelotot pak Karim. Bu Karim menatap suaminya dengan enggan. Dalam kondisi mabuk, jika dijelaskan tak akan mempan.
"Ini aku bawa makanan untuk kamu. Kami seharian cari uang untuk kamu, pak. Kapan kamu sadar untuk tidak marah- marah seperti ini, " kata istrinya dengan nada ditekan.
"Prak..." Tiba-tiba pipi bu Karim ditampar oleh suaminya. Sumi menggigil ketakutan. Ia memeluk emaknya dengan erat.
"Tolong jangan sakiti emak, pak. Emak orang baik, kenapa bapak selalu memperlakukan emak begini? " tanya Sumi masih dengan kegugupannya. Ia tak berani menatap laki-laki br...s..k yang ia sebut bapak itu.
"Diam! Â Anak ingusan sepertimu membela dia?" tanyanya sambil menjambak rambut Sumi. Sumi kesakitan, dan bu Karim menangis menahan tangan kekar suaminya.