Pernah suatu hari, kurang lebih empat bulan yang lalu, saya ditemani dua orang teman saya, menyempatkan diri untuk menonton film layar lebar. Setelah sorenya, kita bertiga tanpa sengaja bertemu di kantin FISIP UI dan mengobrol sebentar seputar kegiatan kampus dan film karena kebetulan kami bertiga sangat menyukai film. Karena waktu itu XXI Margo City sedang memberlakukan paket promosi nonton film bagi pengguna layanan Bank BNI, akhirnya kami memilih untuk menonton film di Margo City, disamping jaraknya yang terdekat dengan tempat tinggal kami.
Sesampai di XXI Margo City, Depok, kami pun memesan tiket film untuk jadwal midnight. Waktu itu kami memilih film “Darah Garuda Merah Putih” karena tampak paling menarik daripada film-film now showing yang lain. Karena sistem promosinya adalah diskon 50% per tiket untuk pembelian 2 tiket seharga Rp. 20.000,-, maka kami membeli 4 tiket alias dua pasang tiket XXI, dengan memakai debet BNI tentunya.
Disini prolog saya tampaknya panjang, padahal sebenarnya curhat saya bukan masalah film, tetapi fenomena unik yang mengganggu pikiran saya selama film berlangsung. Karena waktu itu kami hanya bertiga, berarti masih ada 1 buah tiket lagi yang nganggur alias sia-sia bila tidak dipakai. Karena sebelumnya memang tidak ada teman kita yang berminat nonton film midnight, kami mulai berpikir bagaimana caranya tiket ini bisa terpakai. Kami mencoba mulai dari menelpon teman dekat, memasang announcement di facebook dan twitter, hingga mencari calon pembeli tiket di tempat itu yang belum punya partner beli tiket, demi terpakainya 1 tiket yang kami beli.
Hingga 5 menit sebelum film dimulai, belum ada juga orang yang mau memakai tiket itu. Bahkan kami bertiga sudah mengatakan gratis pun, tidak ada seorangpun yang mau, dengan alasan terlalu malam, dll. Ditengah kebingungan, ide gila muncul di kepala saya. Lalu saya usul ke teman saya, bagaimana jika tiket tiket tersebut kita berikan ke pengemis kecil yang biasanya duduk di jembatan penyeberangan depan Margo City sekaligus mengajak dia ikut menonton film. Lumayan kan bisa menghibur mereka karena menurut saya jangankan nonton film, untuk makan pun mereka sangat susah. Satu tiket XXI ini tentu akan membuat mereka senang. Uniknya, kedua teman kami setuju dengan ide itu. Hampir saja kami beranjak untuk berlari ke jembatan depan Margo City, langkah kami terhenti.
Teman pembaca, sayangnya niat itu terpaksa kami urungkan, karena kami berpikir ulang bagaimana jika kita memang mengajak seorang pengemis kecil ke tempat ini. Buat kita itu bukan menjadi masalah, tetapi saya berpikir lagi, bagaimana respon orang dan pemilik XXI melihat seorang anak kecil tanpa pakaian atas yang biasanya mengemis dan tidur di jembatan tiba-tiba menonton film di XXI dan yang lebih miris apakah adik pengemis kecil itu benar-benar akan menikmati film lebar daripada berpikir bahwa makan adalah jauh lebih penting baginya daripada berada di tempat glamour ini.
Sahabat pembaca, ketulusan untuk beramal memang harus kita internalisasi dalam keseharian kita. Terkadang kita sedih bila niat baik kita tertunda karena suatu sebab. Tapi yang terpenting bukan kuantitas yang kita amalkan, tetapi empati yang besar. Saya belajar banyak untuk berempati terhadap orang lain selama hampir tiga tahun saya kuliah di Depok. Semoga sahabat pembaca juga terinspirasi dengan kehidupan sekitar kita. Mari terus beramal dan menyayangi orang di sekitar kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H