Saya menulis karena keprihatinan dan keinginan untuk berbagi. Saya bukan pengguna bus Transjakarta, bukan orang Jakarta, bukan kerabat korban, bukan saudara pelaku, apalagi saudaranya sopir bus. Saya hanya peduli dengan persoalan-persoalan perempuan dan kebetulan sedang melakukan studi tentang perempuan.
Beberapa hari yang lalu saya berselancar di internet tentang diskriminasi dan pelecehan seksual terhadap perempuan dan muncullah artikel tentang pelecehan seksual di Bus Transjakarta, tempat umum! Pikiran saya langsung tertarik bagaimana dan mengapa itu bisa terjadi dan apa pelajaran apa yang bisa kita ambil.
Ada beberapa artikel yang saya baca dan ada beberapa hal yang menarik tentang peristiwa itu. Pertama, ada korban yang tidak peduli akan diri sendiri, seperti tidak menghindar dan membiarkan hal itu terjadi atau mungkin juga karena takut. Kedua, tidak ada penumpang lain, terutama laki-laki, yang peduli akan kejadian itu. Cuek, seolah itu biasa, and memang mereka mengatakan ‘kalo kaya gitu mah…biasa...neng.’ Meski ini mungkin tidak akan terjadi di tempat lain, misal seperti di Surabaya, kata satu komentar dalam artikel tersebut, karena pasti akan ‘digebukin rame-rame.’ Ketiga, tidak ada kepedulian dan kesiapan petugas mengantisipasi hal itu, misalnya dengan menambah personel, karena hal itu sudah seringkali terjadi. Masalah biaya operasional yang ‘nambah’ jangan dibandingkan dengan derita dan trauma korban. Bukankah keselamatan penumpang menjadi tanggung jawab pengelola bus. Keempat, ada saksi sesama perempuan yang melihat kejadian itu dan bertindak heroik. Setelah menunjukkan pada penumpang lain dan petugas ternyata tidak ada respon, ia mengeluarkan pisau, yang katanya ia bawa kemana-mana di bawah sepatunya, dan mendatangi pelaku dan mengancam akan menyunatnya kalau ia tidak menghentikan perbuatannya. Dan ini berhasil. Pelaku berhenti dan baru petugas dan polisi menangkapnya.
Dari kejadian tersebut, kita bisa mengambil beberapa pelajaran: lemahnya sistem, merosotnya kepedulian sosial, dan ketidakpedulian operator bus terhadap penumpangnya. Lemahnya sistem terlihat dari tidak adanya kamera pengawas, kalau ada mungkin tidak bekerja, tidak merekam. Banyak terjadi di beberapa institusi, ada cctv tapi tidak merekam. Tidak adanya nomor telepon yang khusus untuk melaporkan hal itu, dan kalau adapun mungkin tidak bekerja dengan baik, buktinya penumpang harus mengorbankan nyawanya melawan pelaku. Atau nomor polisi yang bisa dihubungi saat darurat.
Ketidakpedulian penumpang lain terutama laki-laki menggambarkan rendahnya kepedulian kita terhadap orang lain, dan tidak berpikir bagaimana jika itu terjadi pada keluarga kita. Mungkin ada nomor telepon polisi, karena tidak peduli iapun enggan dan mungkin bahkan tidak tahu nomornya. Dan kalau perilaku cuek ini dianggap budaya perilaku kota besar jelas salah.
Berulangnya kejadian serupa membuktikan ketidakpedulian operatos bus akan keselamatan penumpangnya. Karena tidak ada tindakan yang jelas dari operator bus untuk menanggulangi kejadian serupa supaya tidak terjadi lagi. Pemisahan laki-laki dan perempuan yang terlihat hanya ketika di halte, di bus campur lagi. Dan lagi, pemisahan atas jenis kelamin jelas tidak mendidik.
Sebagai kata akhir, kalau ada yang menyalahkan pakaian korban yang terlalu seksi, seperti saran pahlawan perempuan di atas pada korban untuk berpakaian lebih tertutup, mungkin ada benarnya, tetapi itu bukan hal paling penting. Pelecehan yang sesungguhnya banyak terjadi ada di lingkungan keluarga, bahkan terjadi pada anak-anak. Kalau seksi menjadi faktor utama maka akan banyak pelecehan yang terjadi di negara lain seperti Australia, misalnya, di mana perempuan bisa naik bus dan ke kampus dengan celana pendek, yang biasanya untuk tidur, dan tank top yang paling ‘top.’ Kalau pelaku ada di negera seperti itu apakah ia akan melecehkan setiap hari? Bisa pecah kepalanya atau Bahasa Jawanya “pecah ndhase.” Di negara seperti ini, telepon darurat benar-benar berjalan dan langsung direspon dan ada kamera pengawas. Memang penumpangnya tidak sepenuh dan sesesak Bus Transjakarta, tetapi inilah sistem. Dan untuk membangun sistem ini perlu kepedulian masyarakat akan isu tersebut. Para perempuan, dan laki-laki juga boleh, secara bersama-sama harus melaporkan peristiwa seperti ini ke pengelola bus, naik ke level atas lagi, pemda, pemkot, walikota, gubernur, DPR, bahkan kalau perlu ke presiden. Kalau belum ada tindakan dari mereka, paling tidak kita sudah bertindak, dan tanpa mereka pun, dengan bersama-sama akan lebih mendapatkan perhatian dan dukungan dari masyarakat, daripada sendiri-sendiri. Dan bukan hanya di bus, di seluruh muka bumi, segala bentuk pelecehan dan penindasan atas nama apapun harus dilawan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H