Guru adalah kata yang tak asing lagi bagi kita. Ya, kata yang di sinonimkan dengan juga ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ itu memiliki akronim yang bukan sembarang. Saya pernah dengan guru berasal dari kata digugu dan ditiru, yang juga bermakna seseorang yang dipercaya omongannya dan juga dijadikan tauladan oleh muridnya. Namun apa jadinya ketika guru sudah kehilangan nilainya?, sudah tak lagi digugu dan ditiru?. Jelas yang terjadi adalah penurunan kualitas guru itu sendiri dan juga muridnya.
Ketika kita mengetahui tujuan guru yang sebenarnya, yaitu menjadi icon yang senantiasa digugu dan ditiru, maka sudah menjadi hal yang wajar ketika prioritas utama mengajar adalah bukan sekedar kelulusan semata, bukan pula nilai-nilai (point-point) yang sering menjadi kebanggaan kalayak. Melainkan adalah sikap yang ditunjukkan oleh guru sebagai central figure bagi murid-muridnya, bagaimana ia bertutur, bagaimana ia berpakaian, dan bagaimana ia bergaul. Itu semua agaknya harus menjadi hal yang senantiasa ada dalam diri seorang yang menyandang nama besar ‘guru’.
Lalu bagaimana seharusnya guru?
Guru tak semestinya mengajar akademik saja. Dari keterangan di atas dapat diketahui, makna hakikat guru adalah medidik. Karena tanpa menjadi pendidik tak akan mungkin tujuan seoarang guru sebagai icon yang senantiasa digugu dan ditiru itu tercapai. Sedangkan mengajar itu sendiri adalah bagian dari pendidikan, jadi amat aneh ketika sekarang kenyataannya pengajaran (dalam hal ini akademik) menjadi prioritas utama, bukannya malah pendidikan. Mendidik berarti juga merubah pola pikir dan tingkah laku, dari buruk menjadi baik, dari pembohong menjadi jujur, dari khianat menjadi amanah.
Kebanyakan dalam kasus sekarang ini, murid begitu berambisi, berlomba-lomba mendapatkan nilai (point) tinggi dalam belajar, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Lebih lagi, beberapa lembaga pendidikan menjadikan jargon jumlah kelulusan murid-muridnya dengan nilai tinggi untuk menarik minat kalayak guna memasukkan anak-anaknya, sangat jarang ada lembaga pendidikan yang menjadikan jaminan akhlak baik dan kejujuran menjadi jargon utama mereka dalam menarik minat para calon murid. Hal tersebut tidak wajar, mengingat guru yang utamanya adalah mendidik, bukan sekedar menjamin kelulusan para muridnya. Jika sudah demikian yang terjadi, kita bisa melihat hasilnya sekarang. Betapa sikap prakmatis sudah menjadi ciri khas manusia sekarang, kejujuran sudah tak menjadi hal penting, apalagi dengan isu banyaknya para koruptor yang seakan tidak takut lagi akhirat. Sepertinya memang kita harus berbenah, entah dari mana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H