Mohon tunggu...
Rudy W
Rudy W Mohon Tunggu... Karyawan -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

rindu tak berujung rasa

Selanjutnya

Tutup

Money

Kaya Garis Pantai, Mengapa Garam Masih Impor?

15 September 2018   04:44 Diperbarui: 15 September 2018   06:00 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa Indonesia masih mengimpor garam? Seperti sebagian tahu, Indonesia memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, yaitu 99.093 km. Lantas yang menjadi pertanyaan, mengapa garam masih harus diimpor juga?

Yang bisa menjawab pertanyaan itu mungkin tidak sedikit orang. Namun bagaimana kalau kita dengarkan saja dari narasumbernya. Nah, siapa lagi beliau kalau bukan Enggartiasto Lukita, Menteri Perdagangan RI yang sekarang.

Menurutnya, ada 2 faktor utama yang menyebabkan mengapa produksi garam di negara ini belum mampu untuk memenuhi kebutuhan berskala nasional sesampai Indonesia harus mengimpor garam.

Pertama, menurut sang Menteri adalah cuaca atau iklim di negara kita kurang mendukung untuk memproduksi garam. Negara kita (pulau Jawa) dalam kurun setahun ada empat sampai lima bulan hujan.

Situasi iklim seperti ini sangat berbeda dengan di negara lain, seumpama wilayah Darwin di Australia yang hujan hanya satu bulan dalam setahun.

Faktor yang kedua adalah kualitas dari air laut atau disebut juga kemurnian daripada air laut yang akan dijadikan bahan baku utama guna produksi garam.

Daerah yang banyak mengandung garam, seperti Cirebon umpamanya, hasil garamnya tidak maksimal dari segi kualitas karena air lautnya kotor dan sudah banyak tercemar.

"Tidak mungkin memproduksi garam yang berkualitas, air lautnya saja cokelat" ujar Enggartiasto.

Sehingga menurut pria berusia 66 tahun ini, garis pantai panjang tidak bisa dijadikan patokan Indonesia menjadi produsen garam terbesar di dunia.

Katanya, wilayah pertambakan garam tidak ditentukan oleh panjangnya garis pantai, harus dilihat dari segi iklim. Mungkinkah areal tersebut bisa menjadi sentra?

Itu bukan berarti kita akan terus mengimpor garam. Salah satu caranya adalah meningkatkan produksi secara nasional, dengan menetapkan tempat yang tepat untuk dijadikan sentra.

Nusa Tenggara Timur adalah salah satu daerah itu yang mungkin dapat menjadi sentra.

"Yang paling memungkinkan dan paling efektif ialah NTT" Enggartiasto menjelaskan.

Disebutnya, faktor cuaca. Di Flores tiga bulan hujan dalam setahun, sedang di Timor dua setengah bulan hujan dalam setahun.

Selain itu, faktor dari air, kualitas air laut di NTT cenderung lebih jernih daripada wilayah lain di negeri ini.

"NTT yang terbaik" tuturnya.

Inilah yang menjadi penyebab mengapa pemerintah pusat dan gubernur Nusa Tenggara Timur berusaha semaksimal mungkin untuk menjadikan wilayah NTT sebagai produsen garam.

Dengan asa keberhasilan menjadikan NTT sebagai sentra produksi garam, derasnya impor garam selama ini bisa dihambat. 

Produksi garam untuk kebutuhan nasional baru 50 persen dari keseluruhan, itulah yang menjadikan garam harus diimpor, walau negara kita mempunyai garis pantai yang terpanjang di dunia. Namun sayang, air lautnya masih berkualitas jelek, kotor, dan kecokelatan, yang berarti air laut tersebut sudah sangat terkontaminasi (di laut Jawa).

Kalau yang terbaik di Jawa adalah Madura. Namun  terbaik secara nasional adalah di Kupang, NTT. "Madura sudah menurun, Flores hujan tiga bulan setahun, Darwin 1 bulan setahun" kata Enggar soal iklim yang merupakan faktor utama untuk produksi yang baik.

Sementara, terkait dengan melonjaknya dolar AS terhadap rupiah, bukankah tingkat impor sering dianggap menjadi salah satu biang keladi dari anjloknya nilai tukar rupiah?

Impor selain garam, juga gula, beras, kedelai, dsb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun