Pernah beberapa waktu lalu, di dalam sebuah sarasehan yang diselenggarakan di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, NTT, Â dihadirkan seorang wakil rakyat, anggota DPR RI. Dalam sarasehan tersebut sang wakil rakyat menceritakan mengenai liku-liku isi perut di tubuh DPR saat itu.Â
Untuknya, masalah yang paling sulit menjadi wakil rakyat adalah upaya mempertahankan nurani atau akhlak baik supaya tidak terjerumus ke dalam suatu permainan yang kotor.Â
Masalah soal suap-menyuap menurutnya telah merupakan suatu hal yang lazim. Mengingat, apalagi saat melakukan kunjungan kerja ke daerah "basah". Tidaklah jarang bagi seorang wakil rakyat disodorkan amplop yang berisi uang ratusan juta, untuk oleh-oleh.Â
Siapa orang yang tidak mudah tergoda dengan rezeki begitu nomplok itu, manusia menjadi tidak punya hati nurani yang teguh.
Sering kali jika ada seorang wakil rakyat yang menolak duit tersebut, teman-teman sesama anggota DPR bakalan menertawakan serta dileceh sok suci. Mereka yang mengolok, sudah terbiasa dengan aneka gado-gado penghasilan dari luar gaji resmi, jua tunjangan buat perjalanan ke daerah.
Celakanya lagi, menurut anggota DPR yang dihadirkan tersebut, banyak dari antara anggota dewan perwakilan rakyat yang bisanya hanya duduk selaku anggota dewan, terkait dengan tiga fungsi pokok anggota DPR, yaitu tugas legislasi, Â membuat anggaran dan mengontrol. Tiga fungsi tersebut itulah sebetulnya yang menjadi tugas utama anggota legislatif.
Namun sayang, tidak semua anggota dewan yang duduk tidak menjalankan fungsinya dengan baik dan benar.
Menurut UUD 1945 dan UU no. 27/2009 tentang MD3, DPR memiliki tiga fungsi utama dalam menjalankan tugasnya, yaitu: legislasi, penganggaran, dan pengawasan.
Fungsi legislasi adalah merupakan produk DPR yang utama sebagai operasionalisasi kekuasaan legislatif. Menurut sang pembicara, DPR RI belumlah maksimal di rangka menjalankan fungsi yang pertama itu.Â
Mengapa demikian?
Sebab menurutnya, setiap ada produk RUU yang dihasilkan oleh DPR RI sejauh ini nyaris selalu dimentahkan oleh suatu Mahkamah Konstitusi karena RUU itu bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, banyak dari UU yang dirancang baik oleh pemerintah atau dari inisiatif DPR tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat banyak.