Saat ini, prevalensi penderita penyakit ginjal kronik di Indonesia diperkirakan mencapai 2 per 100.000 penduduk. Namun, hanya 60 persen pasien yang dapat mengakses layanan dialisis, dan hanya 10 persen yang menjalani terapi sampai tuntas.
Pilihan terapi yang tersedia adalah hemodialisis (HD), Continuous Ambulatory Peritonial Dialysis atau cuci darah melalui perut (CAPD), dan transplantasi ginjal. Jumlah pasien ginjal tahap akhir yang menjalani hemodialisis lebih banyak, dan sebagian kecil saja yang menjalani CAPD.
Data BPJS tahun 2015 menunjukkan 94 persen pasien gagal ginjal menjalani hemodialisis dan kurang dari 5 persen yang memilih cuci darah via perut. Tak heran jika hemodialisis sangat membebani BPJS, menghabiskan 2,6 triliun rupiah dalam setahun.
Di Indonesia, saat ini diduga ada 2,9 juta penderita penyakit ginjal tahap akhir, yang dikenal juga dengan sebutan PGTA.
Memilah metode cuci darah
Mana yang lebih baik, hemodialisis (HD) atau cuci darah lewat perut (CAPD)?
Studi perbandingan efektivitas harga antara kedua metode tersebut dilakukan oleh Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH, ketua studi dan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat FKUI, menjelaskan bahwa studi tersebut dilakukan pada 3 rumah sakit di Jakarta dan Bandung, melibatkan 120 pasien gagal ginjal stadium akhir.
Hasilnya, biaya yang dikeluarkan untuk cuci darah per tahun mencapai 115,5 juta per orang. Sementara itu, jika menjalani cuci darah lewat perut, biaya yang dihabiskan adalah 130,7 juta.
Meski begitu, kualitas hidup pasien yang menjalani cuci darah melalui perut ternyata jauh lebih baik. Karena ia tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit, pasien juga dapat berhemat untuk ongkos transportasi.
Studi tersebut mengungkap, penghasilan pasien cuci darah yang hilang karena harus ke rumah sakit dua kali seminggu mencapai 8 juta rupiah. Transportasi yang dihabiskan mencapai 5,2 juta, sedangkan peserta CAPD hanya 3 juta.