Sekitar dua bulan lalu, saya bertemu kawan lama di Sanipah, Kelurahan di kawasan pesisir Delta Mahakam yang secara administrasi masuk Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara. Di Kelurahan ini terdapat aktifitas produksi minyak dan gas yang dikelola Total E & P Indonesie. Secara formal unit produksi itu disebut lapangan SPS (Senipah-Peciko-South Mahakam).
Kawan saya itu bernama Takdir. Dia adalah Direktur Yayasan Pembangunan Masyarakat (Yapenmas), LSM yang bermitra dengan Total E & P Indonesie. Saya pertama kali bertemu dia dalam kegiatan penguatan LSMÂ yang digelar Total E & P Indonesie bekerjsama dengan SKK Migas.
Pagi itu Takdir bersama Andi Jamaluddin sedang memeriksa sumur dalam yang menjadi sumber air bersih warga Sanipah. Andi Jamaluddin adalah manager unit pengelolaan air bersih Yapenmas. Saat ini, Yapenmas punya tiga sumur dalam yang melayani 150 Kepala Keluarga (KK).
Sejak tahun 2000, Yapenmas mendapat pendampingan teknis dan bantuan keuangan dari program Corporate Social Responsibility (CSR) Total E & P Indonesie untuk menyediakan layanan air bersih bagi warga Sanipah.
Kegiatan yang dibangun dari nol itu kini menjadi tulang punggung warga yang membutuhkan air bersih. Bahkan, dari iuran air bersih warga, Yapenmas bisa membangun satu unit instalasi pengolahan air bersih secara mandiri. Instalasi itu tidak ditujukan untuk menambah pelanggan, tetapi mengatasi debit air bersih yang terkadang tidak sampai ke rumah warga.
Sebelum Yapenmas hadir, warga hanya bisa memanfaatkan air hujan atau membeli air bersih dari Kelurahan tetangga. Karena ketersediaan air bersih tetangga yang terbatas, cekcok kerap terjadi antar warga yang memperebutkan air bersih.
Lepas dari cerita sukses itu, saya seenaknya bertanya, kemana Total E & P Indonesie sebelum tahun 2000? Atau dipakai untuk apa duit bagi hasil migas yang masuk ke APBD Kutai Kartanegara sejak era otonomi daerah itu. Saat itu jawabannya mungkin Total E & P Indonesie masih merancang skema CSR yang tepat dan Pemerintah Kalimantan Timur serta Pemerintah Kutai Kartanegara barangkali masih punya prioritas belanja lainnya.
Okelah, tapi setelah 15 tahun berselang, harusnya rakyat yang hidup di lingkar sumur dan unit pengolahan Migas tak lagi susah. Listrik dapat dinikmati tanpa pemadaman sebab PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas) telah berdiri kokoh di tiap Kecamatan. Air bersih yang keluar dari kran rumah warga langsung bisa diminum karena semua instalasi pengolahan air bersih sudah menggunakan teknologi reverse osmosis. Dapur warga mengepul dari kompor berbahan baku gas yang bersumber dari Blok Mahakam.
Sayangnya, 15 tahun bukan waktu yang panjang. Problem dasar seperti air bersih dan energi tidak kunjung tuntas. Ibarat tikus sekarat di lumbung padi, warga Kalimantan Timur umumnya didera krisis energi berkepanjangan. Listrik sering padam karena kekurangan pembangkit listrik. Kaltim masih mengandalkan pembangkit diesel tua yang rakus solar.
Antrean premium dan solar di SPBU jadi pemandangan biasa. Belum lagi bicara seretnya quota BBM subsidi bagi para pahlawan pangan seperti nelayan, petambak dan petani di Kaltim.
Kelangkaan elpiji 3 kilogram semakin membuat warga Kaltim mengurut dada. Kita sebenarnya hidup dimana? Di tanah Kaltim, milyaran kubik minyak dan gas dipompa. Tapi apa dampaknya? Semua kekayaan sumber daya alam itu tidak banyak dinikmati rakyat Kaltim. Sementara di seberang sana, tempat minyak dan gas Kaltim disalurkan, masyarakat Indonesia lainnya tidak merasakan hal serupa.
Tanpa bermaksud membandingkan, beberapa daerah di Kaltim sudah lebih baik merasakan dampak kekayaan Migas. Sebut saja Bontang dan Tarakan yang beberapa kawasan sudah dialiri gas untuk kebutuhan rumah tangga warga. Di Kutai Kartanegara juga telah berdiri PLTG yang menggunakan gas dari Blok Mahakam. Tapi ini hanya sekian persen dari populasi penduduk Kaltim. Tidak sebanding dengan lama eksploitasi Migas di Kaltim yang konon menggandakan keuntungan berlipat bagi kontraktor Migas dan menyumbang pendapatan terbesar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tak heran gerakan penolakan terhadap kebijakan pemerintah pusat melalui otonomi khusus berkumandang di Kaltim. Beruntung, warga Kaltim dibesarkan dari beragam etnis yang merantau dan beranak pinak di Kaltim. Tidak seperti Aceh dan Papua yang mayoritas punya sejarah pemberontakan atas ketidakadilan pemerintah mengurus Sumber Daya Alam (SDA).
Berdasarkan data Wikipedia, Sejak 1968, Total E & P Indonesie yang dulunya bernama Campaigne Francaise du Petrole (CFP) telah bekerjasama dengan Pertamina melalui skema Production Sharing Contract (PSC). Namun, ekplorasi pertama di Muara Tebo, Jambi gagal mendulang minyak.
Baru pada 1971, Total dan Inpex sepenuhnya dipercaya pemerintah sebagai operator Migas di Blok Mahakam. Setelah sekitar setahun mencari, mereka akhirnya menemukan ladang Migas yang disebut Bekapai, disusul Handil, Tambora, Sisi Nubi yang membuat Total menjadi operator gas terbesar di Indonesia .
Setelah perpanjangan kontrak di tahun 1997, kontrak kerjasama dengan dua perusahaan raksasa Migas itu akan berakhir di 2017. Pemerintah berniat tidak memperpanjang kontrak dan menyerahkan tanggungjawab operator Migas di Blok Mahakam kepada perusahaan Migas milik negara, Pertamina. Saya yakin Pertamina punya kompetensi. Tapi, pertanyaan yang muncul di benak saya kemudian, apakah peralihan ini akan bermuara pada kedaulatan energi di Kaltim dan Indonesia?
Terlepas dari perubahan status kontraktor asing menjadi tidak asing, pemerintah harus memastikan Indonesia berdaulat energi dengan menyusun skema pengelolaan Migas yang baik. Saya bukan pengamat Migas apalagi pakar. Sebagai orang awam, rakyat khususnya di Kaltim mendambakan skenario pengelolaan Blok Mahakam berbasis kebutuhan daerah.
Tanpa bermaksud egois dengan mengesampingkan rakyat Indonesia lainnya di luar Kaltim, sudah menjadi hak rakyat Kaltim untuk mendapatkan prioritas mengingat berbagai dampak pengeboran Migas yang sudah, sedang dan akan dirasakan di masa depan. Sebagai contoh Kecamatan Sanga-sanga di Kutai Kartanegara. Kemana hiruk pikuk ekonomi di sana setelah sumur minyak kering? Sanga-sanga harusnya bisa menjadi contoh salah perencanaan pendek pengelolaan Migas di Kaltim.
Apakah pemerintah punya blue print pemberdayaan masyarakat menghadapi pasca Migas di Kaltim. Mohon maaf, saya ragu pemerintah punya.
Dalam Seminar Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Migas di Indonesia yang diselenggarakan Kompasiana, Senin 13 April 2015, tak ada satupun butir penting pertemuan yang memuat persoalan kedaulatan energi dan skema pasca Migas Blok Mahakam. Sebagian besar hanya membahas cara bagi-bagi kue pengelolaan Blok Mahakam, termasuk Participating Interest (PI) Pemerintah Kaltim dan Pemkab Kukar.
Saya tidak anti PI. Saya sepakat Pemerintah Daerah mendapatkan PI sepanjang ada skema usaha yang menguntungkan. Yang lebih penting dari itu, pemerintah daerah harus menyusun rencana penggunaan dana keuntungan dari hasil PI dalam bentuk program yang kongkret. Jika program yang disusun tidak bermuara pada kedaulatan energi dan pemberdayaan masyarakat menyongsong pasca Migas, maka pemerintah pusat wajib menolak PI, apalagi jika pemerintah daerah sama sekali tidak punya.
Yang agak sedih, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak tidak peka dengan persoalan Blok Mahakam. Harusnya Gubernur fokus dengan kebutuhan dasar warganya yang miskin energi dan akan menjadi korban pasca Migas Blok Mahakam. Tapi, dia malah memilih bicara persen. Persen yang keuntungannya tidak jelas akan digunakan untuk apa dan rakyat mana yang merasakan dampaknya.
Saya lantas bertanya, untuk siapa kita menyelamatkan Blok Mahakam? Kalau benar untuk rakyat Indonesia, tanggalkan ego pemerintah pusat dan daerah. Lebih pantas kita beradu mulut tentang tata kelola Blok Mahakam sebagai lumbung energi nasional dan sumber kesejahteraan rakyat, daripada mengencangkan urat leher untuk berteriak "saya dapat berapa?,".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H