Mohon tunggu...
Muhammad Zulkarnain Ashya Hifa
Muhammad Zulkarnain Ashya Hifa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta Salah Satu PTS Di Kabupaten Ponorogo

Mencoba kembali menemukan passion di dunia tulis-menulis, sebuah hobby yang sebelumnya sempat digeluti namun "ditelantarkan" karena harus fokus dengan rutinitas pekerjaan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kepedulian Itu Bernama Zakat

11 Mei 2024   13:58 Diperbarui: 11 Mei 2024   14:00 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Istilah “Crazy Rich” mulai luas dikenal seiring dengan banyaknya penampakan para “hartawan” yang gemar mempertontonkan beragam kegiatan di luar nalar. 

Mulai dari aksi bagi-bagi uang ataupun barang dengan jumlah fantastis, sampai dengan show off  harta kekayaan mereka yang konon tidak akan habis dikonsumsi bertahun-tahun bahkan sampai tujuh turunan sekalipun. Indahnya lagi, sosok orang kaya kebangetan yang sedang menyita perhatian dari berbagai kalangan ini justru justru jauh dari kata “mapan” secara usia mengingat mereka kebanyakan masih under thirty five (dibawah 35 tahun). Fenomena ini tentu saja menggebrak tatanan teori “kemapanan”, dimana lazimnya puncak dari pundi-pundi kekayaan seseorang baru akan berhasil dicapai setelah menempuh waktu yang relative lama.

Sangat mungkin terjadi, tren kaya mendadak di kalangan anak muda ini justru akan “melahirkan” satu generasi yang ber- imaginasi tinggi namun lemah pada tataran etos kerja. Betapa tidak, dengan hanya bermodalkan satu kata pamungkas “keberuntungan” (lucky) semua berharap kekayaan dapat segera didapat. Betul, jika modal bukan melulu soal berapa besar dukungan finansial berupa keuangan yang dapat diputar untuk mendapatkan hasil dari sebuah usaha melainkan proses lah yang akan banyak memberikan bukti. 

Satu fakta memperkuat sebuah kebenaran dimana proses dalam berusaha itu sama halnya mendaki sebuah gunung yang terjal penuh bebatuan, licin, curam, sesekali terpeleset dan akrab dengan darah serta keringat. Terlalu dominan yakin terhadap unsur “keberuntungan” seringkali mengecilkan proses alamiah yang seharusnya dilalui, semua diharapkan dapat direngkuh dalam sekali kerjapan mata sehingga ironisnya segala cara ditempuh tidak perduli halal ataupun haram.

Belum lagi soal kepedulian semu yang dipertontonkan oleh pada hartawan yang mendapatkan label “crazy rich” itu. Bagi-bagi uang maupun pun barang dipertontonkan sedemian rupa sehingga viral serta mengundang decak kaum para netizen. Muara dari kegiatan tersebut jelas sebatas memformat sebuah konten yang digandrungi para kawula muda. Bukan lagi pada aspek hakiki merefleksikan kepekaan dan kepedulian sosial kepada sesama, justru cenderung menampilkan disparitas sosial yang semakin nyata. Terjadi eksploitasi yang begitu dalam kepada para Mustad’afin, sementara cita-cita taawun yang sebenarnya tidak kunjung tercapai.

Konsep zakat sendiri mengajarkan kepada kita bagaimana caranya tangan kiri kita tidak mengetahui berapa uang atau sedekah yang diberikan oleh si tangan kanan kepada yang membutuhkan. Konsep ini jika diterjemahkan secara spesifik, adalah satu kondisi dimana dengan pemberian kita kepada orang lain tidak lantas menimbulkan perasaan malu, tidak enak, atau mungkin sakit hati bagi para penerima derma. Atau sebaliknya tidak lantas menyebabkan si pemberi merasa paling hebat karena telah memberikan sesuatu kepada orang lain, sehingga apa yang mereka lakukan tersebut dikabarkan secara terang-terangan dengan maksud tertentu yang tidak dibenarkan secara syar’i. Untuk itulah, diperlukan satu bagian penting yang diperankan oleh para Amil sebagai pengelola Zakat, Infaq dan Shodaqoh (ZIS) dari para Munfiq maupun Muzakki.  

Menunaikan Zakat sudah barang tentu bukan hanya soal berbagi kepada orang lain, karena lebih daripada itu Islam telah mengatur dengan sangat jelas perhitungannya baik bilangan pengalinya (2.5% dari harta yang telah memenuhi nishob) ataupun peruntukannya. Islam bahkan telah menempatkan Zakat sebagai salah satu Rukun Islam ke-Empat bahkan secara tegas disebutkan berbagai keutamaan dari melaksanakan Zakat bagi umat Islam. Selain merupakan ibadah untuk memenuhi kewajiban secara vertical dari seorang hamba kepada Sang Khaliq, Zakat juga harus ditunaikan mengingat kita juga harus menyelesaikan tanggung jawab secara horizontal kepada sesama manusia. Pengelolaan ZIS secara Syar’i diharapkan dapat menjadi pemantik dari harapan dan cita-cita mulia Lazismu : “Zakat Tumbuh, Indonesia Tangguh”.            

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun