Mohon tunggu...
Ashri Riswandi Djamil
Ashri Riswandi Djamil Mohon Tunggu... Guru - Belajar, belajar, dan belajar

wkwk land

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Anak Sekolah 90-an

4 November 2022   18:12 Diperbarui: 4 November 2022   18:27 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekolah bagiku waktu itu, adalah tempat bermain. Murni. Motivasiku ketika berangkat ke sekolah adalah bermain bersama teman-teman. Bukan hanya teman sekelas tapi juga lintas kelas. Kecuali anak TK. Ya karena sekolahku dulu itu semua jenjang mulai TK sampai SMA. Dalam satu gedung. Saat itu aku masih SD kelas 5. Sedang asik-asiknya menikmati momen bermain yang begitu intens. Aktif seperti anak-anak pada umumnya. Sampai akhirnya tidak bisa dielakkan adalah ketika masuk kelas-kelas pelajaran eksak. MIPA dan kawan-kawan. Aku hanya kalut pada huruf M yang pertama. Entah kenapa Matematika itu selalu menjadi momok bagiku dan beberapa kolega dalam kelas. Mungkin karena gurunya yang darah tinggian. Fakta lucu sejak SD aku pernah suka pelajaran Matematika. Hanya satu tahun. Karena untuk pertama kalinya guru MTK yang friendly. Tidak suka marah. Tetap saja tidak pernah mendapat nilai yang baik. Tapi aku sudah menerima bahwa ini tidak bisa dipaksakan. Lebih baik aku menikmati pelajaran lain yang bisa diikuti.

IPA tidak sepenuhnya sulit, hanya banyak istilah-istilah latin yang njlimet diucapkan itu saja. Aku berusaha untuk tidak bolos saja sudah bagus. Kehadiran itu penting. Menghargai dan menghormati guru dengan hadir di kelasnya itu sudah nilai yang baik. Sudahlah tak pandai, bolos pula. Akan menjadi penilaian buruk dan bukan hanya merugikan diri sendiri tapi keluarga, orangtua. Aku lebih takut lagi jika orang tuaku marah karena ulahku. Di sekolah itu ada hal-hal menyenangkan yang terdengar remeh. Apa itu? adalah bel pergantian pelajaran eksak, bel istirahat, dan bel pulang. Yang terakhir paling dinanti. Setidaknya ada harapan setiap harinya yang membuat seorang siswa memiliki harapan dan semangat hidup. Pergi untuk pulang. Sekalian saja tidak usah sekolah. Oh tidak, bukan begitu konsepnya. Sekolah tetap menyenangkan, sebanyak apapun tugas dan beban pelajaran. Tapi kita tidak sendiri. Ada banyak rekan-rekan sepersekolahan yang sama. Semua anak yang sekolah pasti merasakannya dong. 

Jadi seperti ini. Apapun yang terjadi kita bisa melewatinya bersama. Untuk mengetahui jika kita memiliki sahabat sejati, ada tandanya. Walaupun ada teman kita yang tidak naik kelas, mereka tetap berkawan baik. Ini kisah nyata. Aku mengalaminya dan kalau dipikir-pikir tidak perlu lagi untuk malu. Yang lebih parah dariku ada. Anak kepala Tata Usaha. Rekor lima kali pernah tidak naik kelas. Karena sering bolos. Kadang kasihan melihat ayahnya di mata koleganya. Tapi itu sudah rahasia umum. Yang penting orangtuanya sudah menerima kondisi anaknya. Dan anaknya hanya malas. Itu saja penyakitnya. Tapi dia seorang jenius komputer. Karena komputer pada masa itu masih dengan sistem operasi berbasis teks. Baru awal 1995 muncul Windows full grafis seperti sekarang.

Selain bel ada juga hal menarik yang juga kami tunggu-tunggu.Yaitu masa ujian atau ulangan umum istilahnya. Pada masa itu sekolah di Indonesia menganut sistem Catur Wulan disingkat CAWU. Jadi dalam satu tahun ajaran dibagi tiga. Setiap empat bulan sekali diadakan Ulangan Umum Catur Wulan 1 kemudian Catur Wulan 2 dan Catur Wulan 3. Tidak ada ulangan tengah cawu. Karena akan terdengar aneh saja. Karena musim ujian pasti pulang lebih cepat dan tidak banyak pelajaran. Hanya yang diujikan saja. Pulang cepat, artinya waktu bermain lebih banyak. Aku bukan tipe anak tidur siang. Sulit rasanya memejamkan mata saat matahari belum terbenam. 

Di Tahun era 90-an. Sekolahku memiliki komputer yang tidak banyak. Dalam sebuah ruang berukuran 6 x 6 meter. 6 PC dengan warna casing legendaris warna putih agak krem begitulah. Monitor konde keyboard mekanik yang tutsnya besar-besar dan mengeluarkan suara "cetak-cetak" yang merdu. Disanalah aku dan beberapa kolega serta kakak kelas menghabiskan waktu. Tidak banyak game waktu itu. Hanya yang sudah ada saja. Ketika itu sangat digemari game 3D first person shooter. Seperti Counter Strike kalau sekarang. Bedanya lawannya makhluk-makhluk buas akibat terkena radiasi. Nama gamenya Doom. Dan satu lagi pesaingnya yaitu Duke Nukem. Seru menguras adrenalin karena ketika makhluk itu muncul sangat cepat dan harus segera ditembak. Walaupun kalau diingat-ingat grafisnya sangat jadul ketika itu. Tapi keren pada zamannya. Kamipun bergantian main. Seperti biasa aturan yang sudah baku dari zaman ke zaman, yang kalah harus ganti pemain. Begitu seterusnya. Beruntung yang jago. Dia pasti akan bermain lebih lama. Tapi bagiku itu tidak mengapa. Menonton saja sudah sangat senang ketika itu. 

Tahun-tahun yang penuh kenangan. Di zaman internet belum viral seperti sekarang. Ada saja hal menarik yang membuat kita berpikir hari ini. Dulu kami baik-baik saja sebelum adanya internet. Tapi itu dulu. Beda zaman beda lagi tantangannya. Hari ini informasi begitu mudahnya di dapat. Bahkan berlebihan, overload bisa dibilang. Banyak informasi yang tidak dibutuhkan justru bertebaran di jagat maya. Tak terkendali. Hanya user saja yang harus memiliki filter sendiri. Pandai-pandai membaca dan mencerna informasi yang ada. Jangan mudah percaya dan asal share. Harus hati-hati dan cermat dalam mengambil informasi. Kemudahan teknologi hari ini membuat orang yang kreatif tambah kreatif. Yang belum tau menjadi tau. Belajar mandiri yang didasari atas dasar penasaran dan keingintahuan yang tinggi. Tidak heran mulai banyak bermunculan anak-anak muda kreatif dan inovatif di bidang teknologi informasi ini. Ini adalah era emas informasi. Pilihan ada pada diri masing-masing. Mau belajar dan memanfaatkan teknologi ini dengan baik dan bermanfaat, atau tenggelam dalam arus informasi, dan hanya jadi konsumen saja, dan menyadari betapa banyak waktu yang telah habis tanpa ada hasil apa-apa. Choice is yours...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun