Kesedihan itu tidak hanya dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan. Tapi sebagai perawat. Menjadi makanan sehari-hari. Menjadi perawat di malam hari bukan untuk semua orang. Bukan pula merasa terhormat. Tidak. Ini pekerjaan dengan segala resikonya. Bahkan semua pekerjaan. Apapun profesinya. Tidak lebih mulia dari profesi lainnya. Memang menjadi perawat itu membuat pasien nyaman. Itu tugas kami. Kepuasan dan kebahagiaan kami pun sederhana. Melihat senyuman di wajah mereka. Ucapan terima kasih saja sudah membuat aku dan rekan-rekan bahagia. Terlebih ketika pasien itu meninggalkan kamar. Hidup nya lebih baik daripada hari-hari ketika mereka dirawat.
Pria malam yang dulunya anak pagi. Aku tidak menyesalinya. Selarut apapun aku bekerja. Setidaknya masih bisa menghirup udara pagi. Karena pagi waktunya pulang untuk istirahat. Hari ini hari terakhir aku menjadi pria malam untuk bulan ini. Bulan depan aku kembali menjadi anak pagi. Atau pria pagi. Dan sudah berjalan seperti ini selama tujuh tahun penuh kesan ini. Per bulan ganti waktu kerja. Siapa juga yang tahan kerja malam selamanya. Semua harus seimbang bukan?
Matahari pagi ini membuatku untuk beberapa saat berdiri menatap hangatnya sinar itu. Di depan pintu keluar yang masih sepi dari lalu lalang orang-orang. Rasanya menyenangkan setelah keluar dari kotak pendingin ini. Karena AC yang dua puluh empat jam nyala nonstop. Mungkin perlu ada ruangan khusus dengan lampu hangat seperti yang dipakai penjual makanan agar hangat lebih lama. Atau seperti toko emas. Agar emasnya terlihat menyala. Entahlah usulan dalam pikiranku yang mungkin konyol untuk diutarakan di depan direktur rumah sakit. Aku tersadar dari pikiranku dan berjalan menuju arah rumah kos tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Matahari makin tinggi dan panas pertanda sinar UV tipe B akan segera berakhir. Berakhir pula tugas ku hari itu.
Depok, 6 Agustus 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI