Mereka menakwilkan mukjizat, agar tetap rasional di mata mereka dan tidak "melanggar" sunnatullah atau hukum alam secara fisika. Dengan cara berpikir begitu, terlihat bahwa mereka tidak mempercayai mukjizat sebagai sesuatu yang luar biasa. Karena, sesuatu yang luar biasa itu "dibiasakan" oleh pemahaman mereka. Dalam pandangan mereka, mukjizat yang luar biasa bagi para nabi itu sebenarnya tidak ada.
Dengan begitu, sekalipun mereka mengaku mempercayai mukjizat yang disebutkan dimiliki oleh para nabi, maka dengan pemahaman seperti itu, sebenarnya mereka tidak mempercayai mukjizat (mukjizat sebagai sesuatu yang luar biasa)... Karenanya mereka tidak menerima mukjizat Nabi Muhammad Saw yang bisa membelah bulan dan peristiwa-peristiwa luar biasa beliau lainnya...
Ketika mukjizat para nabi ditakwilkan secara metaforis seperti di atas, dan dijadikan sebagai sesuatu yang biasa, maka ini konsisten dengan cara pandang yang melihat para nabi sebagai Manusia Biasa. Manusia biasa hanya dapat melakukan sesuatu yang biasa. Dan sesuatu yang biasa hanya dilakukan oleh manusia biasa.
Lalu, jika mukjizat dipahami demikian, maka apa bedanya para nabi dengan manusia-manusia biasa pada umumnya? Ya itu, kata kelompok yang memandang para nabi sebagai manusia biasa, bedanya adalah karena para nabi menerima wahyu. Sedangkan manusia-manusia lain, tidak....!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H