Mohon tunggu...
Ashlikhatul Fuaddah
Ashlikhatul Fuaddah Mohon Tunggu... lainnya -

manusia yang masih kehausan....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Tanpa Akhir

26 Desember 2012   09:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:01 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat aku jalan- jalan sore..kulihat sekelompok anak jalanan sedang menunggu antrian...entah antrian apa,,,aku belum paham saat itu.

“Mumpung masih banyak waktu..” gumamku seraya kulirik jam tangan yang senantiasa menempel di pergelangan tanganku. Kuamati tingkah resah mereka yang menunggu. Hingga ku tahu, mereka sedang mengantri pekerjaan, yup, pekerjaan mengantar barang.

Pekerjaan itu tak sulit dan tak mudah juga, namun syaratnya, pekerjaan ini harus ditempuh dengan jalan kaki dan harus terlihat kekompakannya.

Dua kardus barang tegeletak di depan mereka, dengan sigap anak jalanan yang memakai baju warna putih mengambil satu kardus. Terlihat jelas, anak tersebut susah diatur. Garis wajahnya paling kaku dibandingkan yang lainnya.

“heiii,,kenapa ku menilai buruk seseorang dari luarnya saja?” teriak hatiku yang suci.

“hahaha...liat tar yaa...pasti bener dech tebakanku!!!” sombong si hati yang sebelah.

Terlihat perbincangan diantara mereka. Terlihat serius dan menegangkan. Kuamati terus mereka, tujuh anak jalanan yang lain membagi samarata satu kardus yang tersisa. Mungkin mereka mengalah dengan sikap kuat teman yang berbaju putih tadi. Mereka terus berjalan, dua belas jam waktu mereka yang tersedia untuk sampai ke tujuan.

Tujuh anak jalanan ini sambil riang menikmati perjalanan, saling menambah dan mengurang beban antar anak, agar langkah mereka sama. Berbeda dengan satu anak jalanan tadi, meskipun dia menikmati juga perjalanan ini dengan ikut bernyanyi, tapi dia lebih sering diam, entah apa yang ada dipikirannya, aku tak tahu. Ketujuh anak jalanan lainnya pun juga kupikir tak tahu dan tak mau tahu.

Setengah perjalanan telah mereka tempuh, wajah semangat tetap menyelimuti ketujuh anak jalanan, tapi tidak dengan yang satu.

Kucoba tuk mendekat, kuulurkan tangan tuk membantu. Namun naas, niat baikku ditolaknya dengan suara lirih namun begitu mengena di hati.

Tatapan memelas kuterima dari ketujuh anak jalanan, dengan senyum getir, mereka menatapku dan dengan tanpa mengurangi rasa kasihan terhadapku, mereka tinggalkan aku dan anak jalanan ini yang masih duduk beristirahat.

Tak kuasa bila ku ikut meninggalkan dia sendiri, ku temani meski tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku, ku diam membisu.

Dia melanjutkan perjalanannya, dengan tertatih- tatih, dia menggendong barang bawaannya, dia terjatuh dan kemudian bangkit kembali, begitu terus- menerus.

Berulang- ulang pula ku tawarkan bantuan menolong, namun hanya senyum hambarnya saja yang dipakainya untuk menjawab penawaranku.

Waktu sudah menunjukkan kurang satu jam lagi, namun daerah tujuan masih sangat jauh, tak cukup pikirku tuk dicapai oleh anak ini.

Di sisi lain, ketujuh anak jalanan telah sampai di pintu gerbang tujuan, mereka tidak boleh masuk oleh penjaga apabila barang belum lengkap semua. Hati dongkol ketujuh anak jalanan ini hanya berbalas angin yang berdesir halus dan suara petir menggelegar di pikirannya.

Apakah yang akan terjadi dengan ketujuh anak jalanan ini? Salahkah mereka dengan anak jalanan berbaju putih tadi? Selesaikah pekerjaan baru mereka?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun