Prof. Tjipta Lesmana menulis dimana mana. Juga kalau diperlukan akan ngomong dimana mana. Dia juga kolomnis Koran Rakyat Merdeka.
Kamis, 12 Desember, ia menulis kolom dengan judul: Megawati, Pemimpin Yang Tidak Konsisten.
Kenapa sampai Prof. Tjipta Lesmana menulis kolom ini? Prof. Tjipta Lesmana berusaha mengilas balik peristiwa yang terjadi pada tahun 2002. Dua bulan sebelum MPR mengesahkan amandemen UUD 1945 yang ke empat.
Prof. Tjipta Lesmana yang dinobatkan media sebagai pakar komunikasi politik itu tentu punya alasan tersendiri kenapa dia harus menulis kilas balik peristiwa tahun 2002 itu.
Kata Tjipta, dia mengantar Jend TNI Rudini, Ketum Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia dan Mayjend TNI Soemargono serta Kol. Suja’I, untuk menemui Mega yang menggantikan posisi Gusdur sebagai presiden pada 23 Juli 2001. Gusdur terpaksa mengundurkan diri akibat heavy politicking di DPR/MPR. Jangan lupa masih banyak pewaris ORBA yang terus bercokol di DPR/MPR, walau mereka berubah baju dan warna.
Mega, lanjut Prof. Tjipta Lesmana, didampingi, al; Jacob Tobing, anggota DPR/MPR, yang disebut Prof. Tjipta Lesmana yang paling berperanan dalam proses amandemen 1945 di MPR.
Dalam pertemuan itu, menurut Prof. Tjipta Lesmana, Rudini meminta Mega untuk menggunakan segala kewenangannya menahan proses amandemen UUD 1945. Rudini berpendapat dampak amandemen itu akan merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara. (Harus diingat Rudini adalah mantan Menteri Dalam Negeri RI dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) (1999-2001) yang bertugas sebagai penyelenggara Pemilu pada 7 Juni 1999.)
Prof. Tjipta Lesmana pasti tahu Pemilu 1999 diikuti 48 partai politik dengan beragam asas dan kepentingan
Hasil Pemilu 1999 http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2013_02_25_11_42_48_Hasil%20Pemilu%20Tahun%201999.pdf
Saat mendampingi Rudini, Prof. Tjipta Lesmana, yang juga ex. anggota Komisi Konstitusi MPR, kata dia, memberikan contoh penyimpangan konstitusional yang sedang dilakukan oleh wakil rakyat.
Tentu secara sadar, Prof Tjipta Lesmana menggambarkan pertemuan itu dan sekaligus menggambarkan Mega pendiam, yang lebih banyak bicara malah Ketua PAH 1 MPR, Jacob Tobing, yang mengatakan amandemen itu atas kehendak para wakil rakyat di MPR.
Prof. Tjipta Lesmana, juga menggarisbawahi memorinya yang sangat diingatnya betul, bahwa Mega mengatakan proses amandemen itu ada di MPR. Mega berpesan pada Prof. Tjipta Lesmana untuk menyosialisasikan apa apa yang menurut Prof Tjipta Lesmana dapat mencederai kepentingan rakyat dalam amandemen UUD 1945 di berbagai media.
Diceritakan juga oleh Prof. Tjipta Lesmana mengenai kekecewaan Rudini atas sikap Mega.
Prof. Tjipta Lesmana, selain sebagai anggota Komisi Konstitusi MPR, juga memiliki lembaga kajian yang bekerja sama dengan LPSI, yang kemudian menggelar seminar tentang amandemen UUD 1945.
Prof. Tjipta Lesmana, di tengah kolomnya menulis, yang disebutnya sebagai bagian sejarah, bahwa anggota fraksi PDI Perjuangan di MPR lah yang sangat aktif mengkritisi proses amandemen ke empat dan berusaha menahan lajunya proses amandemen.
Namun suara mereka gagal karena fraksi fraksi lain menginginkan amandemen ke empat yang didukung oleh ketua MPR waktu itu, Amien Rais.
Tetapi, Prof Tjipta Lesmana, dalam tulisannya bersikukuh proses ke empat amandemen itu terjadi adalah tanggung jawab Mega yang menurutnya sebetulnya bisa mempergunakan kewenangannya untuk menghentikan proses amandemen yang ke empat tsb.
Prof. Tjipta Lesmana menulis, “Hingga hari ini saya tetap berkeyakinan bahwa amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR berturut turut pada tahun 1999 hingga 2002 menjadi sumber pokok kerunyaman Indonesia selama 10 tahun terakhir…….! Dan yang patut disalahkan menurut Prof. Tjipta Lesmana ya Mega.
Ini menarik, seorang Profesor yang mengklaim diri sebagai pakar komunikasi politik tengah beropini berdasarkan pengalamannya, dan “menyalahkan” segala kerunyaman khususnya 10 tahun terakhir ini kepada Mega.
Membaca kolom ini, terus terang patut diragukan kepakaran Prof. Tjipta Lesmana. Karena sebagai seorang pakar, bahkan ikut terlibat dalam proses amandemen, dia tahu sekali situasi dan kondisi politik yang terjadi waktu itu.
Prof. Tjipta Lesmana sendiri menulis bahwa fraksi PDI Perjuangan adalah satu satunya fraksi di MPR yang berjuang menahan laju proses amandemen.
Prof. Tjipta Lesmana bahkan menulis fraksi fraksi lain lah yang begitu bersemangat menggolkan amandemen UUD 1945 dengan dukungan penuh Ketua MPR Amien Rais (Ketua MPR 1999-2004). MPR dalam periode ini adalah Lembaga Tertinggi Negara.
Prof. Tjipta Lesmana pasti tidak lupa Amien Rais adalah pemrakarsa Poros Tengah, disebut sebagai King Maker, yang habis habisan berusaha menghambat Mega, sebagai Ketum PDI Perjuangan yang mendapat suara terbesar pada Pemilu 1999.
Pasti Prof. Tjipta Lesmana juga masih sangat ingat bahwa Prof DR Amien Rais juga getol menahan Mega bahkan untuk menjadi Wapres. Waktu itu ada dua calon kuat Mega dan Hamzah Haz.
Tapi, jika itu dilakukan, dunia akan menertawakan proses demokrasi yang tengah dibangun di Indonesia melalui Pemilu 1999. Karena tak sanggup menahan malu, akhirnya para wakil rakyat di MPR/DPR tidak bisa asal sruduk mengingkari kenyataan secara sistem yang konstitusional Mega lah yang harus terpilih sebagai RI1.
Karena Gusdur dengan PKBnya sebetulnya berada di posisi ke 4, PAN nya Amien Rais ke 5dalam pemilu 1999. Jadi agak keterlaluan jika Amien Rais maksa untuk jadi presiden. Secara “cerdik” Amien Rais “memilih” posisi menjadi Ketua MPR, dengan asumsi tidak akan mengulangi kesalahan Jend. Nasution ketika menjadi Ketua MPR.
Lebih konyol, Prof. Tjipta Lesmana, dalam tulisannya menandaskan bahwa kerunyaman selama 10 tahun terakhir karena Mega.
Tidak dapat dibayangkan mahasiswa mahasiswa Prof Tjipta Lesmana diajar oleh seorang Profesor yang memiliki logika layaknya seorang politisi praktis dengan pikiran pragmatis (jika meminjam istilah Ruhut politisi hitam, yang bisa saja berwarna kulit apa saja. Apakah Ruhut masuk dalam kategori itu? Rakyat yang menentukan).
Prof. Tjipta Lesmana mengabaikan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme itulah yang menyebabkan kerunyaman Indonesia selama 10 tahun terakhir.
Wewenang hak anggaran kepada DPR adalah juga dicantumkan dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Tetapi bukan berarti dengan penguatan dalam amandemen mengenai hak hak konstitusi DPR itu membuat para wakil rakyat itu bisa menjadi penggila dan kegilaan mengorupsi, bancakan anggaran APBN dan APBD.
Amien Rais telah memulai dengan Poros Tengah yang menciptakan fragmentasi “pemerintahan koalisi” di era Gusdur Mau tidak mau itu juga dipaksakan terjadi di era Mega yang menggantikan Gusdur selama 2001-2004.
Prof. Tjipta pasti tahu hasil Pemilu 2004, Indonesia untuk pertama kalinya melaksanakan Pemilihan Presiden secara langsung.
Tahun 2004, Presiden SBY yang menang telak, karena semua media mendukungnya dan KPU?, ternyata juga memilih kabinet koalisi. Prof. Tjipta Lesmana pasti tahu tentang itu, bahwa Presiden SBY memilih kabinet koalisi untuk mengamankan kursi kepresidenannya, kekuasaannya.
Ada hal yang menarik SBY yang dipilih untuk menjadi salah satu menteri di kabinet Gusdur. Ketika Gusdur turun, SBY sempat ngambek, ngotot mencalonkan diri sebagai wapres menggantikan Mega.
Naiknya Mega, tidak serta merta kursi wapres langsung ditempati Hamzah. Ia harus melalui proses pemilihan, bertarung menghadapi Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung yang ternyata sebagai Ketua DPR ingin menjadi wapres. Termasuk mantan Menko Polsoskam Susilo Bambang Yudhoyono yang menilai dirinya pantas menjadi wapres. Selain itu ada Menko Polsoskam Agum Gumelar, dan Siswono Yudo Husodo.
Dalam pemungutan suara putaran ketiga dalam lanjutan Rapat Paripurna Sidang Istimewa (SI) MPR Hamzah Haz berhasil mengungguli Ketua Umum Partai Golkar, Akbar Tandjung dan calon lainnya termasuk SBY.
Dan, yang lebih lucu, jika tidak ingin dikatakan konyol, Prof. Tjipta Lesmana mengkritisi pernyataan Mega yang disampaikannya dalam Pekan Kebangsaan 10 Desember 2012. Mega menyatakan bahwa sangat disayangkan bahwa Indonesia tidak lagi memiliki GBHN.
Pernyataan Mega ini dicela oleh Prof. Tjipta Lesmana dengan mengatakan: “seandainya Mega waktu itu dengan segala kewenangannya menahan proses amandemen. “
Tanpa malu malu, Prof. Tjipta Lesmana, seperti layaknya politisi rezim ORBA, menyalahkan Mega atas kerunyaman yang terjadi, khususnya, selama 10 tahun terakhir ini.
Heran, kenapa sebagai ex anggota Komisi Konstitusi, Prof Tjipta Lesmana tidak membawa Rudini kepada Ketua MPR Amien Rais yang secara de facto dan de jure dalam sistim politik 1999-2004 adalah pemegang Lembaga Tertinggi Negara yang memang berwenang melakukan amandemen.
Prof. Tjipta Lesmana pasti tahu proses amandemen itu ada di MPR. Prof. Tjipta Lesmana sendiri yang mengatakan selain fraksi PDI Perjuangan, fraksi fraksi lainnya ngotot menggolkan proses amandemen ke 4 itu, lagi lagi dengan dukungan penuh sang Ketua MPR Amien Rais.
Kenapa Prof. Tjipta Lesmana tidak mengajak Rudini untuk menemui Amien Rais.
Juga kenapa Prof. Tjipta Lesmana tidak mengajak Rudini untuk menemui Ketua DPR Akbar Tanjung?
Apalagi Rudini adalah seorang jendral yang punya peran di Golkar. Dan pasti jendral Rudini memiliki hubungan dengan Akbar Tanjung, anak kandung Golkar itu.
Kolom Tjipta Lesmana ini bukan atas dasar untuk melihat perkembangan politik nasional pasca pemilu 1999. Jelas sekali, kelihatan secara tendensius, Prof. Tjipta Lesmana tak ubahnya pemain politik praktis yang tidak ragu ragu menghantam lawannya dengan cara kotor sekalipun.
Sebagai pengamat, ternyata Prof. Tjipta Lesmana membiarkan dirinya bias untuk melihat sejarah. Bahkan memanfaatkan “sejarah” untuk menjadi kepanjangan tangan untuk menghantam Mega.
Yang patut dikasihani adalah mahasiswa mahasiswa Prof. Tjipta Lesmana. Bukan keilmuan yang diajarkan oleh Prof. Tjipta Lesmana melainkan brain washing pemelintiran sejarah kepada para mahasiswanya. Prof. Tjipta Lesmana seakan memperkuat adagium bahwa politik itu harus kotor, padahal orang orangnyalah yang kotor, dengan dukungan para pengamat yang juga senang main kotor.
Prof. Tjipta kalau mau jadi politisi ya sekalian saja, tapi tolong jangan gadaikan keilmuan dengan memutarbalikkan sejarah.
Koq, sebodoh ini seorang professor yang inti tulisannya hanya ingin mengatakan KERUNYAMAN SELAMA 10 TAHUN TERAKHIR INI TERJADI KARENA MEGA.
Lho, Prof, orang bego sekalipun tahu, SBY gak becus dengan kepemimpinannya memimpin kabinet koalisi dan partai koalisi di kabinet.
Mau secengeng apa para politisi Indonesia, jika harus memakai seorang professor untuk melawan sosok yang ditakuti oleh mereka.
Prof. Tjipta Lesmana tampaknya sudah kecebur “membela yang bayar” dengan mengambil kesimpulan yang pasti tidak pakai riset.
Prof. Tjipta Lesmana tak ubahnya politisi yang mau cuci tangan.
Prof Tjipta Lesmana adalah pencuci piring hasil pesta para politisi politisi serakah yang tidak tahu malu malah semakin korup selama 10 tahun terakhir ini.
(catatan: PDI-P yang meraih 35.689.073 suara, 33,74 persen, 153 kursi.
Golkar memperoleh 23.741.758 suara, 22,44 persen, sehingga 120 kursi. Dibanding pemilu 1997, Partai Golkar harus kehilangan 205 kursi.
PKB dengan 13.336.982 suara, 12,61 persen, 51 kursi.
PPP dengan 11.329.905 suara, 10,71 persen, 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding Pemilu 1997.
PAN meraih 7.528.956 suara, 7,12 persen, 34 kursi.
Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, kehilangan 9 kursi dibanding Pemilu 1997.
Komisi Pemilihan Umum berhasil menetapkan jumlah anggota DPR dan MPR serta berhasil menetapkan jumlah wakil-wakil utusan golongan maupun utusan daerah.
MPR segera melaksanakan Sidang Umum MPR tahun 1999 diselenggarakan sejak tanggal 1-21 Oktober 1999.
Dalam Sidang Umum itu Amien Rais dikukuhkan menjadi KetuaMPR.
Akbar Tanjung menjadi Ketua DPR.
Sedangkan pada Sidang Paripurna MPR XII, pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak oleh MPR melalui mekanisme voting dengan 355 suara menolak, 322 menerima, 9 abstain dan 4 suara tidak sah.
Akibat penolakan pertanggungjawaban itu, Habibie tidak dapat untuk mencalonkan diri menjadi presiden Republik Indonesia.
Habibie gagal menjadi calon presiden karena laporan pertanggungjawabannya di tolak MPR. Poros Tengah "memaksakan" sistem baru, yg memunculkan tiga calon presiden yang diajukan oleh fraksi-fraksi yang ada di MPR, yakni: Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Yuzril Ihza Mahendra.
Takut suara Poros Tengah terpecah dan takut Mega menang, menjelang pemungutan suara 20 Oktober 1999, Yusril Ihza Mahendra undur diri.
Pemilihan presiden tahun 1999 dilaksanakan secara voting, Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia dengan dukungan Poros Tengah dan tentu saja Golkar yang harus mendapatkan cantolan, karena amanat Reformasi Golkar harus dibubdarkan. Golkar memang bubar berubah menjadi Partai Golkar. Baju baru dengan syahwat kekuasaan yang tidak (belum) berubah?
Pada tanggal 21 Oktober 1999 dilaksanakan pemilihan wakil presiden dengan calonnya Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Pemilihan wakil presiden ini kemudian dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H