Mohon tunggu...
Elia Kristanto
Elia Kristanto Mohon Tunggu... -

seorang yg yakin adanya kesadaran sejarah baru akan membawa pembaruan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bersahut-sahutan dengan Fitri Sulastri

7 Desember 2013   17:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:12 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berhijab di Indonesia dengan tetap menghiasi hijab hijabnya, menghiasi wajahnya. Menutupi tubuh tetapi terasa setiap lekuknya.

Saya sedang tidak membicarakan Fitri seorang. Saya sebetulnya juga bukan mau membicarakan hijabnya.

Yang saya perhatikan adalah sarkasmenya tentang kawin siri. Kawin siri begitu absurd dan harus berani dkatakan di Indonesia telah  semakin diperkosa maknanya. Antara yang dianut Syiah itu, apakah namanya kawin mut'ah, kawin siri, sudah tidak dilihat lagi dogma dogmanya, alasan satu satunya hanya supaya tidak berbuat zina.

Tanyalah mahasiswi mahasiswi muda belia itu. Diam diam banyak mereka yang sudah melaksanakan kawin siri dengan sesama teman mahasiswanya. Lagi lagi supaya tidak mengundang fitnah dan tidak mendorong mereka berbuat zina. Sebagaimana kawin siri, merekapun bercerai diam diam.

Betapa akan menjadi munafiknya kita, mengkritik habis habisan gaya hidup Barat yang kita anggap gonta ganti pasangan semudah mengganti baju, walau sebenarnya bukan begitu, dan disini dengan praktek kawin siri yang bahkan tidak perlu saksi saksi lagi. Sibuk mencari mazhab yang paling memudahkan untuk menyalurkan syahwat, dan maunya tanpa dosa. Ternyata, salah satu alasannya juga karena takut dosa. Tapi bukankah sebetulnya sama saja. Disana tanpa agama, disini pakai agama. Terus apa bedanya jika yang dimaksud adalah mereka sudah cukup dewasa dan hormon mereka berteriak teriak minta jalan keluar dan mereka membutuhkan sex. Ya sebutlah cinta.

Bersahusahutanlah saya dengan Fitri entah dimana ujungnya.

Tetapi inilah kita, sebetulnya jika kita percaya dunia ini bulat maka yang ada hanya sumbu di tengahnya. Poros porosnya menghubungkan kedua belah sisi sisnya dan kita hanya tahu sepenggal sepenggal saja.

Yang namanya hormon, kematangan biologis, libido, sex tidak mengenal suku, ras, golongan dan agama, bahkan harus dibilang sudah pasti tidak mengenal partai politik. Yang membedakan satu sama lain hanyalah mampu menahan diri dan mampu memenuhi hak hakiki secara resmi. Bahwasanya janganlah menyakiti hati perempuan, menghormati cinta, menhargai kesetiaan, itu tambahan penting yang datang dari hati yang membedakan kita dengan binatang.

Kita yang akan menentukan konstruksi sosial apa yang ingin kita bangun di Indonesia. Yang pasti kita semua kecewa ketika melihat seorang Presiden Parpol pengusung agama ternyata menikahi seorang anak SMA. Istri pertama beranak 12, dan suami asyik kawin lagi. Ada pejabat yang kawin siri, kawin dan cerai tanpa alasan kecuali membawa nama Tuhan dan mengatakan itu sudah ditakdirkan. Melihat seorang lelaki politisi menikahi beberapa perempuan, difoto bersama, berjejer, kelihatan rukun,  bahkan dalam wawancara, hati kita tetap ikut terluka seberapapun mereka mengaku bahagia. Kita akan selalu bertanya apakah itu semua benar adanya. Apakah jika suatu waktu harta si lelaki terhempas kemesraan beramai ramai itu bisa dipertahankan?

Lagi lagi alasan yang sering dipakai adalah untuk mencontoh Nabi. Apanya yang dicontoh?. Seorang Aa Gym sekalipun tidak bisa berkilah bahwa ia mengawini perempuan lain hanya untuk memuaskan libidonya. Jangan bicara tentang cinta, jika seorang lelaki yang menjadi panutan punya istri cantik dan anak 7 ternyata hijau juga melihat perempuan molek yang memang tertarik padanya.

Ah, sudahalah perlukan kita berseteru sampai membawa bawa agama, jika menikah itu adalah sebagai sarana dengan apapun tujuannya. Secara hakiki sebetulnya manusia hanya perlu satu manusia dalam pernikahannya. Jika lebih dari itu, ya terimalah konsekuensinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun