Cheng Ho: Penyebar Islam di Nusantara
Buku: Penyebar Islam dari China ke Nusantara
Penulis: Tan Ta Sen
Penerbit: Kompas Media Nusantara
Tahun: 2018
Tebal: 428
ISBN: 978-602-412-414-4
Peresensi: Ashimuddin Musa*
Pada tahun 1968, terbit sebuah buku yang ditulis oleh Prof. Slamet Muljana "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara". Buku itu mengajukan argementasi kontroversial. Bahwa Walisongo  yang kita kenal sebagai penyebar Islam di Jawa adalah keturunan Tionghoa. Segeralah buku Muljana ini menimbulkan respon hangat dari para sejarawan.
Di tengah suasana politik dan kebudayaan sangat antikomunis dan anti-China yang tengah berkecamuk saat itu, penguasa Orde Baru langsung saja menyetop peredaran buku tersebut, dan bahkan melarang diskusi terbuka mengenai isu yang dianggap kontroversial itu. Alasannya klasik, "demi menjaga keamanan dan ketertiban". Sebuah alasan untuk membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Kini keadaan telah berubah. Suasana lebih terbuka pada masa pasca-Orde Baru seperti yang sedang kita nikmati bersama seperti sekarang ini, memberikan kebebasan menyampaikan pendapat, betapapun kontroversialnya topik yang kita kemukakan. Dalam udara kebebasan yang begitu loggar itu, buku kontroversial ini diterbitkan kembali, yaitu pada tahun 2006.
Topik tentang adanya arus China dalam Islamisasi di Asia Tenggara itu menimbulkan ketertarikan sebagian sejarawan akan tokoh yang bernama Cheng Ho. Buku ini menggambarkan dengan baik bagaimana peran Cheng Ho dalam proses Islamisasi di Nusantara.
Di dalam buku ini diceritakan bahwasanya Islam yang berkembang di Nusantara, di samping orang muslim Arab dan muslim India, orang-orang muslim China juga ikut memainkan peran penting dalam Islamisasi ke kepulauan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Teori asal-usul China semakin diperkuat oleh bukti-bukti yang disumbangkan pelayaran bersejarah Cheng Ho ke Barat pada awal abad ke-15. Pelayaran-pelayarannya memberikan sebuah fakta paling kuat mengenai koneksi China akan penyebaran Islam di kepulauan Melayu (hlm 353).
 Di Indonesia sendiri, kala itu telah masuk lewat Gujarat (India) dan Timur Tengah. Tetapi, Cheng Ho membawa gelombang China masuk ke Asia Tenggara membawa arus perpindahan agama Islam yang damai.
Penulis buku ini menunjukkan dukungannya pada teori gelombang China. Dan, yang lebih menarik, menjelaskan kejanggalan Hanafi-Syafi'i dalam proses penyebaran tersebut. Sayangnya, refrensinya banyak menggunakan sumber kronik China dari Semarang dan Cirebon yang kontroversial tersebut tanpa cukup mengkritisinya.
Gaya atap tiga tingkat dari beberapa masjid di Jawa -oleh penulis- diyakini menyimbolkan tiga unsur pokok Islam: Islam, Iman dan Ihsan (amal kebaikan). Atap bertingkat banyak merupakan karakteristik arsitektur China dan Jawa selama beberapa abad; dan ini tidak dikenal di Timur Tengah (hlm. 218).
Ketika Cheng Ho bersama kalangan muslim China yang ditengarai adalah madzhab Hanafi -menurut Tan- ada peran Walisongo di dalamnya. Sebuah argumen kontroversial karena berbeda dengan kesimpulan mayoritas sejarawan yang menulis bahwa madzhab Syafi'i adalah madzhab mayoritas Walisongo. Ia pada kesimpulan demikian karena mayoritas muslim China adalah penganut madzhab Hanafi hingga saat ini.
Pascakematian Cheng Ho, muslim China terbelah menjadi dua, sebagian bersikukuh tetap menjadi entitas China muslim yang eksklusif, tertutup dan lebih melihat ke dalam, dan karenanya berlanjut untuk tetap  terpisah dari arus utama masyarakat Jawa. Sebagian sepakat lebih terbuka untuk mendekati masyarakat Jawa yang lebih luas.